>

Total Tayangan Halaman

Rabu, 17 Februari 2010

Antara Prita , Minah dengan Anggodo dan Yuliana Ong



Prita mulya sari , ibu rumah tangga yg enulis e-mail keluhannya terhadap rumah sakit omni , akhirnya di putus bersalah dan di wajibkan membayar denda 204 juta rupiah . Duit seharga rumah itu menjadi denda karena prita mengeluh buruknya pelayanan kesehatan yg ia terima .
Lain lagi kisah Minah , nenek tua yg memetik tiga buah kakao seharga 1.500 perak di sebuah perkebunan di banyumas . Ia harus menyandang gelar terpidana dan di hukum 1,5 bulan meski tak harus di penjara karena percobaan . Walaupun ia sudah mengembalikan kakaonya dan meminta maaf , polisi tetap memproses kasusnya sebagai pencurian .
Beda lagi kasus kisah Anggodo , adik tersangka koruptor milyaran rupiah yg telah kabur ke luar negri . Hingga kini ia tak kunjung tersentuh proses hukum . Padahal sudah terlalu banyak bukti dan indikasi pennyuapan yg ia lakukan . Status terakhir hanya saksi di bawah perlindungan polisi .
Padahal rekaman percakapan anggodo dg Yuliana Ong , tukang pijit yg dua kali di tangkap polisi karena nyabu dan di lepaskan lagi, nyata -nyata mencemarkan nama baik presiden SBY .
Dalam rekaman yg di perdengarkan di sidang mahkamah konstitusi itu , Ong menyebut nyebut nama " RI satu " dan SBY . Nama presiden di cemarkan dg di sebut mendukung anggodo dan komplotannya . Mentri Hukum dan HAM Patrialis Akar pun buru buru menyebutnya sebagai pencatutan nama presiden .
Anehnya , taksatupun dari mereka di tangkap . padahal pasal pencemaran terhadap kepala negara ini jelas ancamannya .Sudah banyak dari mahasiswa dan demonstran yg di bui gara gara membakar / menginjak injak foto presiden .
Alasan di balik keanehan ini sederhana , ada kepentingan politik penguasayg harus di tutupi dan di lindungi . Namun ada perkara besar lainnya yg mencuat gara gara politisasi itu : terlukanya rasa keadilan masyarakat .
Padahal memenuhi rasa keadilan adalah satu dari tiga tujuan penegakan hukum , yaitu keadilan, kepastian hukum , dan kemanfaatan.Namun kini semua terabaikan dalam penegakan hukum di Indonesia .
Rasa keadilan dipinggirkan karena MInah di hukum sementara Anggodo di biarkan . padahal 1.500 perak yg hampir di ambil minah takjadi hilang , sementara anggodo dan kakaknya anggoro merugikan negara hingga milyaran rupiah .
Rasa itu juga di lukai karena prita di hukum denda 204 juta rupiah sementara Yuliana Ang tak tersentuh hukum . Padahal Prita hanya mengeluhkan buruknya pelayanan kesehatan di R.S Omni sementara Yuliana Ong mencatut nama presiden dan mencemarkannya .
Berikutnya kepastian hukum lenyap karena ternyata hanya berlaku tegas bagi orang kecil . Lidah hukum jadi kelu dan tangannya lumpuh ketika menyangkut orang kaya dan penguasa . Kesimpulannya jangan mencuri kalo hal remeh , mendingan korupsi milyaran . Mencuri ayam dihukum tegas sedang koruptor milyaran bebas.
Yang terakhir , kemanfaatan proses penegakan hukum itu juga di pertanyakan . Apa gunanya menghukum nenek miskin yg khilaf ? Apa gunanya rakyat membayar pajak untuk menggaji polisi yg menghajar pencuri yg mencuri hal yg sepele ?
Kasus ini menambah satu lagi bukti bahwa sistem hukum di indonesia memiliki banyak celah kelemahannya . Filosofoi dasar sistem warisan kolonial ini adalah melindungi kepentingan belanda sebagai penjajah . Rakyat kecil bukanlah pihak yg di lindungi .
Pasal - pasal dalam KUHP ,misalnya,menggantukan posisi " koning " atau raja dengan presiden . Maka perlindungan hukum terhadap presiden setara perlindungan terhadap raja / ratu belanda . Hal serupa juga berlaku bagi pejabat pejabat negara yg bertindak menjalankan " perintah atasan " .Jangan lupa bahwa Akbar Tanjung sebagai mentri dulu batal di hukum dalam kasus korupsi karena menjalankan perintah atasan .
Sayangnya , sistem yg njomplang dari sistem keadilan ini tak di gantikan begitu Indonesia merdeka . Malah di lestarikan dan tetap di terapkan untuk mengatur bangsa dan negara ini . Akibatnya jelas , terjadi diskriminasi antara penguasa , orang kaya dan rakyat jelata .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar