>

Total Tayangan Halaman

Minggu, 29 Agustus 2010

JIHAD MELAWAN ORANG MURTAD


A. Pengertian Murtad

Secara Bahasa :

- Riddah secara bahasa adalah kembali dari sesuatu menuju yang lainnya.”[1]

- Tahawwala (berpindah), dikatakan irtadda (murtad) dan irtadda ‘anhu (murtad darinya) maknanya adalah berpindah.[2]

Secara Syar’i :

- Dan secara syar’i: qoth’ul Islam (melepaskan, membatalkan Islam).”[3]

- Kafir kembali setelah sebelumnya muslim.[4]

- Kembali kafirnya seorang muslim yang berakal dan baligh dengan kerelaannya sendiri tanpa paksaan dari seorangpun.[5]

- Membatalkan keislaman dengan niat atau sebuah ucapan kekufuran atau dengan perbuatan, baik ia mengucapkan perbuatan tersebut dengan mengolok-olok (sendau gurau, menganggap remeh), atau membangkang atau dengan disertai keyakinan.”[6]

- Kafirnya seorang muslim dengan perkataan yang jelas, atau lafal yang menuntut kekafiran atau perbuatan yang mengandung kekafiran seperti melemparkan mushaf ke tempat kotoran atau memakai sabuk (tanda pengenal orang-orang kafir dzimmi) dan lain sebagainya.[7]

- Kembali kepada kekufuran setelah sebelumnya memeluk Islam.[8]

B. Hukuman Bagi Orang Murtad

Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan ;

Pertama: Mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.

Para ulama dari keempat madzhab telah sepakat bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila dalam jangka waktu yang diberikan ia tetap tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum bunuh.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang diberikan :

- Madzhab Maliki. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah menyatakan wajib hukumnya memberi tenggang waktu untuk bertaubat bagi orang yang murtad baik ia laki-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka selama tiga hari berturut-turut. Imam Ibnu Qasim berpendapat diberi tenggang waktu tiga kali (kesempatan) meskipun dalam satu hari. Sementara sebuah riwayat dari Imam Malik menyatakan diberi satu kali (kesempatan), jika menolak untuk bertaubat maka langsung dibunuh tanpa ditunda-tunda.

- Madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i dan para shahabatnya mengatakan orang yang murtad dibunuh langsung saat ia menolak untuk bertaubat. Namun bila diambil kebijakan memberi tenggang waktu tiga hari kemudian ia menampakkan keimanan, maka ia tidak dibunuh.

- Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah sependapat dengan imam Syafi’i, namun beliau menambahkan bahwa jika orang yang murtad meminta tenggang waktu, maka ia diberi kesempatan selama tiga hari.

- Madzhab Hanbali. Para ulama Hanabilah menyatakan orang yang murtad tidak dibunuh kecuali setelah diberi tenggang waktu tiga hari.[9]

Syaikh Abdul Majid Al Masy’abi mengatakan,” Orang murtad dihukum bunuh berdasar nash Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam dan ijma’ para shahabat. Ia dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya dengan pedang karena pedang merupakan alat untuk membunuh, dan orang yang murtad tidak boleh dibakar dengan api.”[10]

Dari ‘Ikrimah beliau berkata,” Dihadapkan kepada amirul mukminin Ali rhodhiyallahu ‘anhu orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas maka beliau berkata,” Kalau aku, maka aku tidak akan membakar mereka karena Rosululloh melarang hal itu dengan bersabda:

لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللهِ

“Janganlah kalian mengadzab dengan adzab Alloh (api)!”.[11]

Namun aku pasti akan membunuh mereka karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda :

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوه

“Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!”. [12]

Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya: ”Pergilah ke Yaman!” Kemudian diikuti oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata: ”Turunlah!” Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang terikat. Ia bertanya: ”Siapa ini?” ia menjawab: ”orang ini dahulu Yahudi lalu masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi.”Aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Alloh dan Rosul-Nya”. (Muttafaq ‘alaih).

Imam Ar-Rofi’i dan An-Nawawi berkata,” Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras hukumnya.”[13]

Imam An-Nawawi berkata,” Apabila seseorang murtad, maka wajib untuk dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman dia atas dan hadits Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam & bersabda: “Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!” Dan ini adalah hadits shohih. Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama saja apakah ia lahir dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.[14]

Kedua: Mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri.

Mereka ini wajib untuk diperangi, yang melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Jika ia tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.

Imam Asy-Syairozi berkata,” Dan jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar rhodhiyallahu ‘anhu telah memerangi kelompok yang murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dibunuh. Karena memerangi ahlul harbi saja hukumnya wajib, maka terlebih lagi memerangi kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran orang yang murtad lebih besar (dari kafir harbi). Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Kalau tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.[15]

Imam Al-Mawardi berkata,” Kondisi kedua. Mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilayah kaum muslimin sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisi mereka seperti itu maka mereka wajib diperangi disebabkan kemurtadan mereka, setelah sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparkan kepada mereka.[16]

Syaikh ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid berkata,” Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok apapun yang mempunyai kekuatan yang tidak mau melaksanakan sebuah syari’at dari syari’at-syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir, meskipun kelompok tersebut adalah kelompok Islam, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, dan sama saja apakah yang mereka tinggalkan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka tetap mengakui atas wajibnya syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka diperangi sampai mau melaksanakan apa yang mereka tinggalkan. Adapun jika meninggalkannya itu karena mengingkari/menolak syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka telah murtad, dan diperangi sampai kembali kepada syari’at Islam. Adalah wajib hukumnya memerangi dua macam kelompok ini berdasarkan ijma’.[17]

Ketiga : Bila yang murtad adalah penguasa.

Bila penguasa murtad, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menggulingkannya, meskipun untuk itu harus ditempuh jalan perang. Bagi yang mampu melaksanakannya akan mendapat pahala dan bagi orang yang justru berkompromi akan mendapat dosa, dan bagi yang tidak mempunyai kemampuan ia harus beri’dad atau berhijroh, tergantung tinjauan kondisi, kemampuan dan maslahat-madharat.

Syaikh Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad,” Juga sudah merupakan suatu kesepakatan (para ulama –ed) wajibnya memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Jika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka mereka harus mencari jalan yang paling dekat untuk menggulingkannya dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah tersebut walaupun untuk hal itu harus bersusah payah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:

وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”[18]

  1. C. Hukum memerangi penguasa murtad dalam negeri kaum muslimin

Para ulama sepakat menyatakan bahwa memerangi orang-orang murtad secara syar’i termasuk kategori jihad fi sabilillah, karena orang murtad adalah orang kafir bahkan kekafiran mereka lebih besar dan parah dari orang kafir biasa (kafir asli), sedang memerangi mereka berarti meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[19]

Bila menilik tiga kategori orang-orang murtad di atas, kita akan mendapati kesulitan untuk menghadapi kategori pertama dan kedua disebabkan tidak adanya pemerintahan Islam yang berdaulat. Justru, yang ada adalah orang-orang murtad yang berwujud para pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Kelompok murtad ketiga ini jelas-jelas semakin menyuburkan kelompok murtad pertama dan kedua.

Oleh karena itu, para ulama menyatakan jihad melawan orang-orang murtad pada hari ini adalah wajib ‘ain, terutama sekali para pemerintah murtad. Dengan memerangi para pemerintah murtad dan mengembalikan kedaulatan hukum Islam dan pemerintahan Islam, maka barulah orang-orang murtad kelompok pertama dan kedua bisa dihadapi.

Secara sekilas, hukum jihad melawan pemerintahan murtad bisa digambarkan sebagai berikut :

  1. Kaum muslimin selain yang mereka yang mempunyai udzur syar’i, wajib ikut memerangi penguasa yang murtad dan melepaskan diri dari ketaatan kepada penguasa murtad. Hukum ini telah disepakati oleh ahlus sunnah tanpa sedikitpun perselisihkan. Berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah ibnu Shomit rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

دَعَانَا رَسُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ, فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ باَيَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا, وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا, وَآثَارَهُ عَلَيْنَا, وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الَأَمْرَ أَهْلَهُ, قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحَا, عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“ Rosulullah menyeru kami, lalu kami membai’at beliau, beliau membai’at kami untuk mendengar dan taat dalam masalah yang kami senangi dan kami benci, yang sulit bagi kami dan yang mudah bagi kami, dan dalam monopoli yang dilakukan kepada kami, dan kami tidak boleh melepas urusan dari ahlinya. Beliau bersabda : kecuali kalau kamu melihat penguasa itu melakukan kekufuran yang jelas, dan menurut kalian itu ada petunjuk dari Allah.[20]”

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat dikarenakan kekafiran yang jelas menurut ijma’, maka setiap muslim wajib melaksanakan (pemecatan) itu”.[21]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata lagi,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”[22]

Al Hafidz telah menukil perkataan Ibnu Tien,” Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak ?.” Ibnu Hajar berkata,” Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”[23]

Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Shahih Muslim dari qodhi Iyadh yang berkata,” “Para ulama telah sepakat bahwa imam itu tidak dinobatkan dikarenakan kekafirannya, maka kalau nampak darinya kekafiran harus dipecat. ”

Qadhi ‘Iyadh berkata lagi,” Jika terjadi kekafiran atau merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu…”[24]

  1. Dalil yang menguatkan wajibnya memecat penguasa adalah kenyataan bahwa orang-orang murtad tersebut telah berdomisili dan berkuasa di negara muslim. Para fuqoha’ telah menyebutkan bahwa jihad yang semula hukumnya fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain dengan menyerang atau berkuasanya orang kafir di negeri kaum muslimin. Inilah yang disebut dengan jihad difa’i (defensif). Dalam kondisi defensif ini, setiap orang wajib berjihad sesuai kemampuannya.

Imam Al Mawardi berkata :

لأنه قتال دفاع وليس قتال غزو فيصير فرضه على كل مطيق

” Karena peperangan semacam itu adalah peperangan defensif bukan ofensif, maka setiap orang yang mampu wajib melakukannya.”

Imam Al Baghowi berkata :

إذا دخل الكفار دار الإسلام فالجهاد فرض عين على من قرب وفرض كفاية على من بعد

” Ketika orang-orang kafir masuk ke negeri Islam, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dan fardhu kifayah bagi yang jauh”.[25]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة و الدين فواجب إجماعا. فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان.

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[26]

Bercampur dan berkuasanya orang-orang kafir dalam negeri kaum muslimin merupakan bentuk dari masuknya kekuatan kafir bersenjata kedalam negeri kaum muslimin. Dengan demikian, ijma’ ulama yang menyatakan jihad hukumnya fardhu ‘ain, berlaku dalam kondisi ini.[27]

3- Jihad melawan penguasa murtad ini didahulukan atas jihad melawan orang-orang kafir asli (orang musyrikin, munafiqin dan ahlul kitab) yang berada di luar negeri-negeri kaum muslimin.

Hal ini dikarenakan beberapa sebab :[28]

a- Penguasa murtad merupakan musuh yang paling dekat dengan kita daripada orang-orang kafir lainnya. Musuh yang lebih dekat harus didahulukan atas musuh yang lebih jauh, berdasar firman Allah Ta’ala :

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيْكُمْ غِلْظَةٌ

“ Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang dekat dengan kalian dan hendaklah mereka menemui sikap keras (tegas) dari kalian.” (QS. At Taubah ;123).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata,

أمر الله تعالى المؤمنين أن يقاتلوا الكفار أولاً فأولاً، الأقرب فالأقرب إلى حوزة الإسلام، ولهذا بدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم بقتال المشركين في جزيرة العرب، فلما فرغ منهم وفتح الله عليهم مكة والمدينة والطائف واليمن واليمامة وهجر وخيبر وحضرموت وغير ذلك من أقاليم جزيرة العرب ودخل الناس من سائر أحياء العرب في دين الله أفواجاً، شرع في قتال أهل الكتاب فتجهز لغزو الروم الذين هم أقرب الناس إلى جزيرة العرب

“ Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin untuk memerangi orang-orang murtad terlebih dahulu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat dengan kekuasaan Islam. Oleh karena itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memulai memerangi orang-orang musyrik di Jaziroh Arab. Tatkala selesai memerangi mereka, Allah membukakan kepada (nabi dan para shahabat) Makkah, Madinah, Thoif, Yaman, Yamamah, Hajr, Khoibar, Hadlromaut dan daerah-daerah lainnya di jazirah arab, maka masuklah manusia dari seluruh penjuru arab ke dalam Dien Allah dengan berbondong-bondong. (Kemudian Allah) mensyari’atkan perang untuk memerangi Rum, karena merekalah yang paling dekat dengan jazirah arab.”[29]

Ibnu Qudamah berkata :

مسألة: "ويقاتل كل قوم من يليهم من العدو لأن الأقرب أكثر حرزاً، وفي قتاله دفع ضرره عن المقابل له وعمّن وراءه، والإشتغال بالبعيد عنه يمكّنه من انتهاز الفرصة في المسلمين لإشتغالهم عنه".

“ Setiap kaum (hendaknya) memerangi musuh yang terdekat dengan mereka, karena musuh yang terdekat itu paling banyak dijadikan persembunyian (bahayanya). Memerangi musuh yang paling dekat berarti menolak bahayanya dari depan dan dari orang yang ada dibelakangnya. Adapun menyibukkan diri memerangi musuh yang jauh (terlebih dahulu) akan memberi kesempatan kepada mush terdekat untuk menyerang kaum muslimin, karena kaum muslimin dalam kondisi sibuk (menghadapi musuh yang lebih jauh).”[30]

b- Orang murtad lebih utama diperangi daripada orang kafir asli.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

وقد استقرّت السنة بأن عقوبة المرتد أعظم من عقوبة الكافر الأصلي من وجوه متعددة منها: أن المرتد يقتل بكل حال، ولايضرب عليه جزية، ولاتعقد له ذمة، بخلاف الكافر الأصلي، ومنها أن المرتد يقتل وإن كان عاجزاً عن القتال، بخلاف الكافر الأصلي.

“ Telah ditetapkan dalam As Sunnah bahwa sangsi hukuman kepada orang murtad itu lebih keras daripada orang kafir asli, ditinjau dari beberapa segi. Antara lain : (pertama) bahwasanya orang murtad itu diperangi di segala keadaan, tidak boleh diambil jizyah darinya dan tidak dijadikan ahlu dzimmah, berbeda dengan orang kafir asli. (Kedua) orang murtad itu dibunuh walaupun ia tidak mampu untuk berperang, berbeda dengan orang kafir asli.”[31]

Beliau berkata lagi :

وكفر الردّة أغلظ بالإجماع من الكفر الأصلي

“ Menurut ijma’ ulama, kekafiran orang murtad itu lebih besar (parah) dibandingkan orang kafir asli”[32].

Dan beliau berkata lagi :

والصدّيق رضي الله عنه وسائر الصحابة بدأوا بجهاد المرتدين قبل جهاد الكفار من أهل الكتاب، فإن جهاد هؤلاء حفظ لما فتح من بلاد المسلمين ... وحفظ رأس المال مقدم على الربح".

“ Abu Bakar As Shiddiq dan seluruh para shahabat memulai terlebih dahulu memerangi orang-orang murtad sebelum memerangi orang-orang kafir dari ahli kitab, dikarenakan memerangi orang-orang murtad itu berarti menjaga negeri yang teah dikuasai kaum muslimin... Sementara menjaga modal itu lebih didahulukan dari menjaga laba.”[33]

c- Memerangi penguasa murtad termasuk jenis perang defensif.

Imam Ibnu Taimiyyah berkata :

فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[34]

d- Karena perkara syar’i bersesuaian dengan perkara qodari. Berkuasanya orang-orang kafir atas orang-orang beriman merupakan sebuah takdir (amru qadari). Perintah jihad mengusir mereka merupakan perintah syar’i (amru syar’i). Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk menolak amru qadari dengan amru syar’i.[35] Orang-orang kafir tidak akan dapat menguasai ummat Islam kecuali melalui orang-orang murtad tersebut. Siapakah yang menjadikan Yahudi berkuasa atas Palestina ? Para penguasa murtad. Mereka tidak mempunyai pekerjaan selain melindungi eksistensi orang-orang Yahudi. Siapakah yang menjadikan kekuatan kafir dan syirik mempunyai eksistensi di negara-negara ummat Islam dengan menguasai perekonomian, politik, militer dan segala aspek kehidupan lainnya ? Tak diragukan lagi adalah para penguasa dan kelompok orang-orang murtad. [36]

Kewajiban memerangi para penguasa murtad ini merupakan sebuah fardhu ‘ain yang hari ini banyak tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena itu, setiap orang yang telah memahami kewajiban ini selayaknya menyebar luaskannya kepada umat Islam, baik dengan dakwah fardiyah maupun dakwah umum.[37]

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al Mishri mengingatkan kaum muslimin dengan mengatakan,” Sesungguhnya di antara kewajiban thaifah manshurah yang paling besar pada zaman ini adalah berjihad melawan para penguasa murtad yang mengganti syariat Allah dan memerintah kaum muslimin dengan undang-undang positif..”[38]

Syubhat :

Para ulama Islam telah sepakat menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir menyerang atau menguasai negeri Islam, maka ketika itu jihad menjadi fardhu ‘ain. Para penguasa murtad yang berkuasa atas negeri Islam saat ini adalah orang-orang kafir (bahkan kekafiran mereka lebih parah dari orang kafir asli). Dengan demikian, jihad melawan mereka merupakan fardhu ‘ain.

Namun ada sebagian kalangan yang menolak hukum ini, dengan melontarkan syubhat bahwa ijma’ ulama tentang fardhu ‘ainnya jihad ketika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin itu adalah ketika orang-orang kafir tersebut berasal dari luar daerah umat Islam (orang-orang asing). Adapun para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini adalah penduduk asli, bukan orang asing dari luar. Dengan demikian, hukum fardhu ‘ain jihad melawan mereka merupakan fatwa yang salah.

Jawab :

Masalah murtadnya penguasa sudah diatur dengan nash tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah bin Shomit. Nash ini tegas menyatakan wajibnya jihad melawan pemerintah kafir dan murtad.

Adapun empat point (a,b,c dan d) tentang pentingnya jihad melawan penguasa murtad di atas bukan merupakan dalil wajibnya jihad melawan pemerintah murtad ---karena sudah ada dalil tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah---. Empat point di atas mempunyai faedah lain, yaitu menguatkan perintah wajibnya jihad melawan pemerintah murtad dan kewajiban mendahulukan jihad jenis ini atas jihad-jihad lainnya.

Sebagai jawaban syubhat di atas, syariah sama sekali tidak membedakan konskuensi hukum yang ditimbulkan antara orang kafir asli (pribumi) dan kafir asing.

Allah Ta’ala tidak membedakan antara kafir pribumi dan kafir asing :

قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَتَسْئَلْنِ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“ Allah berfirman:" Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlahkamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." [QS. Huud :46].

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“ Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ [QS. Al Mumtahanah :4].

إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّ مُبِينًا

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”[QS. An Nisa’ :101].

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa sebab permusuhan adalah kekafiran, bukan karena sebab lain seperti kafir pribumi atau kafir asing. Karena permusuhan hukumnya wajib, baik orang kafir tersebut adalah anak sendiri, ayah sendiri, saudara sendiri , kaum sendiri dan seterusnya. Sebab permusuhan ini juga menjadi sebab hukuman. Artinya, bila orang kafir murtad dimusuhi karena kekafirannya, maka begitu juga ia dihukum

mati karena kekafirannya, sebagaimana hadits “ Barang siapa mengganti diennya, maka bunuhlah ia”, mengganti dien maknanya murtad alias kembali kafir setelah beriman.

Dengan demikian jelas, kekafiranlah yang menyebabkan adanya hukuman. Maka sama saja, apakah orang kafir berasal dari luar negeri kaum muslimin atau berasal dari dalam negeri kaum muslimin, selama ia kafir dan berkuasa maka wajib hukumnya jihad melawannya. Artinya, jihad saat itu adalah fardhu ‘ain.

Dengan kekafirannya, penguasa yang semula beragama Islam dan berasal dari dalam negeri kaum muslimin, telah berubah menjadi orang asing, sebagaimana asingnya anak Nabi Nuh karena kafir (QS. Hud :45-47).

Memang ada sifat-sifat sekunder lain yang berpengaruh terhadap hukuman, seperti ;

- Perbedaan antara kafir asli dan kafir murtad. Kafir murtad hukumannya lebih berat.

- Perbedaan antara kafir yang memerangi umat Islam dan kafir yang mengikat perdamaian dengan umat Islam.

- Perbedaan antara kafir yang dekat dengan kafir yang jauh dalam prioritas jihad.

Dari sini jelas sekali bahwa para penguasa murtad mengumpulkan seluruh sifat yang memberatkan kekafiran mereka, yaitu : murtad, memerangi dan dekat. Karenanya jihad melawan mereka hukumnya lebih wajib.

Contoh persoalan yang semisal dengan hal ini adalah persoalan khamr (minuman keras) yang memabukkan. Baik namanya alcohol, atau wiski atau tuak atau lainnya, baik berupa produk dalam negeri maupun impor, baik warnanya hitam atau merah atau putih, semua sifat ini tidak mempengaruhi status hukum. Sifat yang mempengaruhi status hukum addalah memabukkan. Selama sifatnya memabukkan, maka hukumnya haram apapun nama, warna dan asalnya. Di sini juga ada sifat lain yang mempengaruhi ringan dan beratnya hukuman, seperti meminum khamr pada siang hari Ramadhan.

Orang yang membedakan status hukum antara orang kafir asing yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin dengan orang kafir (murtad) pribumi, ia seperti orang yang membedakan status hukum antara khamr dalam negeri dan khamr impor.[39]

[1] - Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369, karya An Nawawi.

[2] - Lisanul ‘Arab III/173.

[3] . Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369

[4] - Kitabu Tauhid III/22, Dr. Sholih Fauzan.

[5] - Fiqhu Sunah II/381, Daarul Fikr, 1403 H.

[6] - Mughnil Muhtaj IV/134 karya An Nawawi, dinukil dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/55.

[7] - Syarhu Minahil Jalil IV/461, dinukil dari Manhaju Ibni Taimiyah fi Mas-alati Takfir hal. 25, karya Dr. Abdul Majid bin Salim bin Abdullah Al Masy’abi, Adhwau Salaf 1418 H.

[8] - Al Mughni XII / 264,

[9] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal. 26-27.

[10] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal.25.

[11] . Sunan Abu Daud Kitabul Hudud bab Al Hukmu fii man Irtadda, no 4351 hal 657. Dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohih al Jama’ Ash Shoghir II/1229 no 7367.

[12]. Sunan Nasa’I Kitabu Ad Dzam bab Al hukmu fi Al Murtad no 4068 / 4069 hal :566-567. Sunan Ibnu Majah Kitabul Hudud bab Al Murtad ‘an Diinihi no 2535 hal 364. Jami’ At Tirmidzi , Kitabul Hudud no 1458 hal 354. dan dishohihkan oleh al Albani dalam shohih al Jami’ Ash Shoghir II/1055 no 6125.

[13]. Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369

[14] . Al-Majmu’ XX/380

[15] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, An-Nawawi: XX/391

[16] . Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al Mawardi hal: 104 (ed. Tarjamah )

[17] . Al-Qaulul Qoti’ fiiman Imtana’a ‘Anisy Syaroi’, ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid hal: 23.

[18] . HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771. Lihat Al-Imamatul ‘Udzma hal.500-501.

[19] - Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/58-59.

[20] - HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771.

[21] . Fathul Bari : XIII/123

[22] . Fathul Bari XIII/154.

[23] - Fathul Bari XIII/124.

[24] - Syarhu Shahih Muslim XII/229.

[25] . Syarhus Sunnah : X/374

[26] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[27] . Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini.

[28] - Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini dan Al Umdatu Fi I’dadil ‘Udati hal. 296-304, oleh Abdul Qadir Abdul Aziz.

[29] - Tafsir Ibnu Katsir II/422-423.

[30] . Al Mughni Ma’a Syarhi Al Kabir : X/372-373.

[31] . Majmu’ Fatawa : XXVIII/534.

[32] . Idem : XXVIII/47.

[33] . Idem : XXXV/158-159.

[34] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[35] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 274-280. Karya Abdul Qadir Abdul Aziz.

[36] - Lihat kitab Ma’alim At Thoifah Al Manshuroh, Abu Qotadah.

[37] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 301.

[38] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 82.

[39] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 303-304.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar