>

Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Oktober 2010

SUNNAH TADAAWUL (Pergiliran)

Sesungguhnya di alam semesta berlaku hukum Allah yang dikenal dengan sunnah tadaawul, hukum pergiliran. Kemenangan dan kekalahan, kejayaan dan kehancuran, terbit dan tenggelam suatu peradaban dipergilirkan diantara sesama manusia. Allah berfirman di dalam ayatnya :

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Alah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Ali 'Imran 140)

Di dalam Syarh Sahih Bukhari oleh Ibn Bathal dikisahkan bahwa suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus salah seorang sahabat beliau Dihyah al-Kalbiy radhiyallahu 'anhu mengantarkan surat kepada kaisar Romawi Heraklius berisi seruan dakwah. Bertepatan dengan itu Abu Sufyan bin Harb dalam perjalanan dagang ke wilayah romawi, waktu Abu Sufyan masih musyrik. Diundangnya Abu sufyan ini oleh raja Heraklius untuk crosschek infomasi perihal keadaan yang berkirim surat dakwah kepadanya dengan menanyai orang yang belum mengikuti ajakannya. Abu Sufyan menjawab jujur pertanyaan Heraklius karena merupakan aib bagi orang terhormat pada masa itu untuk berdusta. Salah satu item soal yang ditanyakan oleh Heraklius yakni tentang bagaimana keadaan peperangan yang terjadi :


Bagaimana keadaan peperangan antara kalian dengan dia (maksudnya Rasululah)?

Peperangan antara kami dengan mereka merupakan kompetisi, kadang mereka mengalahkan kami, kadang kami mengalahkan mereka.


Uniknya Heraklius justru menimpali pernyataan Abu Sufyan bahwa memang begitulah situasi pertempuran antara nabi pembawa risalah dengan musuh-musuhnya. Tak selamanya menang terus semata-mata karena berkedudukan sebagai pembawa kebenaran yang layak ditolong oleh Rabb-nya.

Heraklius penguasa Romawi Timur itu ternyata pahan sunnah pergiliran itu. Uniknya lagi, dia juga meyakini jika memang benar dia seorang Nabi, maka kekuasaannya akan sampai ke bumi yang diinjaknya (dikuasainya) saat itu.


Jika (informasi mengenai Nabi baru) yang kamu katakan itu benar, maka dia akan menguasai tempat berdiri kedua telapak kaiku ini.


Sejarah mencatat, pada masa pemerintahan Al-Faruq 'Umar bin Khaththab kekuasaan Heaklius di wilayah Syam tumbang, dan ibu kota Romawi Timur dipindah ke konstantinopel.


Dimensi Waktu dalam Sunnah Tadaawul tersebut

Sunnah pergiliran tersebut dalam perjalanannya selalu berkaitan dengan dimensi waktu yang berjalan secara absolut. Manusia tidak seyogyanya menyesali dan mencela kekalahan ketika sedang ditaqdirkan diselimuti kekalahan. Ya,... sebab Ad-Dahr (masa waktu) di tangan Allah, Dialah yang menciptakan, menguasai dan mengatur pergantian siang-malam, Allah-lah yang mempergilirkan kejayaan dan kekalahan diantara manusia.

Ada hikmah besar pada pergiliran kekalahan-kemenangan tersebut. Allah mengambil sebagian ummat Islam dengan kekalahan secara fisik tersebut sebagai syuhada. Dia menguji dengan sunnah pergiliran tersebut agar orang yang beriman memaksimalkan usaha dalam mengambil sebab-sebab kemenangan, karena sekalipun dien islam adalah dienullah, namun dien itu diperuntukkan bagi manusia. Penegaknya dan pemenangnya dengan cara-cara manusia, tidak dijatuhkan dari langit, seperti pikiran kaum fatalis yang tidak mau berkeringat. Kekalahan juga mendidik orang yang beriman agar tidak menjadi ujub dan sombong. Sebaliknya, tidak seyogyanya dalam kondisi kalah, dan syarat-syarat untuk menang masih jauh, memaksakan diri untuk meraih kemenangan secepatnya.

Ketika umat ini sedang kalah, ibarat perputaran roda, kadang sedang berada disamping dalam perjalanan meluncur ke titik nadir kelemahan, kemudian setelah itu bergerak dari titik nadir itu untuk menanjak meniti jalan ke arah kejayaannya. Tentu diperlukan waktu, tidak jarang pula waktu yang diperlukan cukup lama. Usaha untuk menemukan jati diri dan sebab-sebab kemuliaan, merumuskannya, membuat rancana dan menapaki rencana tersebut, menghadapi jatuh bangun dalam mewujudkan rencana tadi, hingga akhirnya Allah mempercayai untuk menyandang kemuliaan. Waktu yang tidak sebentar, kadang sampai beberapa generasi. Lepasnya Al-Quds ketangan kaum salib, untuk mengembalikannya ke haribaan ummat Islam diperlukan waktu lebih dari 70 tahun, pekerjaan efektif dua generasi. Dengan segala dinamika sepanjang perjalanan untuk meraihnya.


Karakter Permusuhan dalam Hubungan dengan Dimensi Waktu tersebut.

Dalam hubungan dengan dimensi waktu yang dijalani untuk kembali meraih kemuliaan dengan menempuh jalan, memenuhi tuntutan dan menyempurnakan sebab-sebab kemenangan, ada peran beragam. Yang paling penting dati padanya adalah menyadari peran generasi.

Ketika suatu generasi umat telah menyadari keadaan umat Islam pada masa dia ditakdirkan hidup, memahami keadaan musuhnya, tahu posisinya di tengah umat di mana dia bertanggungjawab membawa umat kembali meraih kejayaannya, dia telah mempunyai modal untuk mengambil peran dan tanggung jawab. Yang diperlukan setelah itu adalah meg-ikhlskan diri kepada Allah dan bersungguh-sungguh untuk menunaikan peran generasinya.

Dia harus jujur dan bersungguh-sunggu. Jujur, jika memang kekuatan umat pada semua dimensinya memungkinkan untuk menghadapi musuh di kancah penentuan nasib menag atau kalah, dia memasuki pertempuran itu secara sadar. Bersungguh-sungguh untuk sanggup membayar harga yang dituntut dari pengambilan keputusan atas langkah itu. Jika mendapati umat belum memenuhi persyaratan untuk memasuki kancah pertempuran, harus pula jujur untuk bersedia sabar menjalani hari-hari tertekan melihat musuh yang jumawa memperagakan kedhaliman, sementara yang dapat dilakukan barulah mengambil sebab, memenuhi persyaratan untuk dapat memasuki kancah pertempuran.

Kejujuran dan kemampuan mengukur ini sangat diperlukan ketika dalam posisi memimpin, diikuti orang banyak, agar tidak terjadi langkah gegabah memasuki pertarungan hidup-mati sementara ummat belum siap untuk membayar harganya. Efek yang ditimbulkan dari langkah yang salah perhitungan, tak hanya menjadikan tujuan tujuan meraih al-qohru wal-gholabah (kemenagan dan dominasi) terhenti atau tertunda. Kekalahan dalam pertempuran, berujung kepada luka-luka, tertawam atau terbunuh. Luka-luka dan tertawan dapat berakibat trauma jika belum siap menghadapi hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Yang lebih serius dari itu ketika dalam keadaan tertawan musuh menggunakan kombinasi pendekatan kekerasan fisik dan penggalangan. Efeknya, jika belum siap, menjadi jera terhadap pilihan jalan yang ditempuh, atau jika proses penggalangan musuh berhasil, korban akan dilepas sebagai predator (hama) bagi teman-teman lamanya seperjuangan. Nas-aslullaaha al-'aafiyah. Meski tidak di inginkan, kenyataan pahit ini terjadi.

Jika dalam menghadapi kancah pertempuran itu dilakukan dengan sadar dan penuh perhitungan, jika pun ada kasus seperti tersebut di atas dapat diminimalisir dan dibatasi, tidak menjadi tren umum yang mewabah. Sebab jika keadaan tersebut mewabah, akan menimbulkan penurunan psikologis yang buruk, menurunkan tingkat kepercayaan diri dan kepercayaan ummat kepada abnaa' ashshohwah al-islamiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar