>

Total Tayangan Halaman

Minggu, 29 Agustus 2010

JIHAD MELAWAN ORANG MURTAD


A. Pengertian Murtad

Secara Bahasa :

- Riddah secara bahasa adalah kembali dari sesuatu menuju yang lainnya.”[1]

- Tahawwala (berpindah), dikatakan irtadda (murtad) dan irtadda ‘anhu (murtad darinya) maknanya adalah berpindah.[2]

Secara Syar’i :

- Dan secara syar’i: qoth’ul Islam (melepaskan, membatalkan Islam).”[3]

- Kafir kembali setelah sebelumnya muslim.[4]

- Kembali kafirnya seorang muslim yang berakal dan baligh dengan kerelaannya sendiri tanpa paksaan dari seorangpun.[5]

- Membatalkan keislaman dengan niat atau sebuah ucapan kekufuran atau dengan perbuatan, baik ia mengucapkan perbuatan tersebut dengan mengolok-olok (sendau gurau, menganggap remeh), atau membangkang atau dengan disertai keyakinan.”[6]

- Kafirnya seorang muslim dengan perkataan yang jelas, atau lafal yang menuntut kekafiran atau perbuatan yang mengandung kekafiran seperti melemparkan mushaf ke tempat kotoran atau memakai sabuk (tanda pengenal orang-orang kafir dzimmi) dan lain sebagainya.[7]

- Kembali kepada kekufuran setelah sebelumnya memeluk Islam.[8]

B. Hukuman Bagi Orang Murtad

Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan ;

Pertama: Mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.

Para ulama dari keempat madzhab telah sepakat bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila dalam jangka waktu yang diberikan ia tetap tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum bunuh.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang diberikan :

- Madzhab Maliki. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah menyatakan wajib hukumnya memberi tenggang waktu untuk bertaubat bagi orang yang murtad baik ia laki-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka selama tiga hari berturut-turut. Imam Ibnu Qasim berpendapat diberi tenggang waktu tiga kali (kesempatan) meskipun dalam satu hari. Sementara sebuah riwayat dari Imam Malik menyatakan diberi satu kali (kesempatan), jika menolak untuk bertaubat maka langsung dibunuh tanpa ditunda-tunda.

- Madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i dan para shahabatnya mengatakan orang yang murtad dibunuh langsung saat ia menolak untuk bertaubat. Namun bila diambil kebijakan memberi tenggang waktu tiga hari kemudian ia menampakkan keimanan, maka ia tidak dibunuh.

- Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah sependapat dengan imam Syafi’i, namun beliau menambahkan bahwa jika orang yang murtad meminta tenggang waktu, maka ia diberi kesempatan selama tiga hari.

- Madzhab Hanbali. Para ulama Hanabilah menyatakan orang yang murtad tidak dibunuh kecuali setelah diberi tenggang waktu tiga hari.[9]

Syaikh Abdul Majid Al Masy’abi mengatakan,” Orang murtad dihukum bunuh berdasar nash Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam dan ijma’ para shahabat. Ia dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya dengan pedang karena pedang merupakan alat untuk membunuh, dan orang yang murtad tidak boleh dibakar dengan api.”[10]

Dari ‘Ikrimah beliau berkata,” Dihadapkan kepada amirul mukminin Ali rhodhiyallahu ‘anhu orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas maka beliau berkata,” Kalau aku, maka aku tidak akan membakar mereka karena Rosululloh melarang hal itu dengan bersabda:

لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللهِ

“Janganlah kalian mengadzab dengan adzab Alloh (api)!”.[11]

Namun aku pasti akan membunuh mereka karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda :

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوه

“Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!”. [12]

Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya: ”Pergilah ke Yaman!” Kemudian diikuti oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata: ”Turunlah!” Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang terikat. Ia bertanya: ”Siapa ini?” ia menjawab: ”orang ini dahulu Yahudi lalu masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi.”Aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Alloh dan Rosul-Nya”. (Muttafaq ‘alaih).

Imam Ar-Rofi’i dan An-Nawawi berkata,” Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras hukumnya.”[13]

Imam An-Nawawi berkata,” Apabila seseorang murtad, maka wajib untuk dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman dia atas dan hadits Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam & bersabda: “Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!” Dan ini adalah hadits shohih. Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama saja apakah ia lahir dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.[14]

Kedua: Mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri.

Mereka ini wajib untuk diperangi, yang melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Jika ia tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.

Imam Asy-Syairozi berkata,” Dan jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar rhodhiyallahu ‘anhu telah memerangi kelompok yang murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dibunuh. Karena memerangi ahlul harbi saja hukumnya wajib, maka terlebih lagi memerangi kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran orang yang murtad lebih besar (dari kafir harbi). Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Kalau tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.[15]

Imam Al-Mawardi berkata,” Kondisi kedua. Mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilayah kaum muslimin sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisi mereka seperti itu maka mereka wajib diperangi disebabkan kemurtadan mereka, setelah sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparkan kepada mereka.[16]

Syaikh ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid berkata,” Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok apapun yang mempunyai kekuatan yang tidak mau melaksanakan sebuah syari’at dari syari’at-syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir, meskipun kelompok tersebut adalah kelompok Islam, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, dan sama saja apakah yang mereka tinggalkan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka tetap mengakui atas wajibnya syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka diperangi sampai mau melaksanakan apa yang mereka tinggalkan. Adapun jika meninggalkannya itu karena mengingkari/menolak syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka telah murtad, dan diperangi sampai kembali kepada syari’at Islam. Adalah wajib hukumnya memerangi dua macam kelompok ini berdasarkan ijma’.[17]

Ketiga : Bila yang murtad adalah penguasa.

Bila penguasa murtad, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menggulingkannya, meskipun untuk itu harus ditempuh jalan perang. Bagi yang mampu melaksanakannya akan mendapat pahala dan bagi orang yang justru berkompromi akan mendapat dosa, dan bagi yang tidak mempunyai kemampuan ia harus beri’dad atau berhijroh, tergantung tinjauan kondisi, kemampuan dan maslahat-madharat.

Syaikh Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad,” Juga sudah merupakan suatu kesepakatan (para ulama –ed) wajibnya memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Jika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka mereka harus mencari jalan yang paling dekat untuk menggulingkannya dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah tersebut walaupun untuk hal itu harus bersusah payah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:

وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”[18]

  1. C. Hukum memerangi penguasa murtad dalam negeri kaum muslimin

Para ulama sepakat menyatakan bahwa memerangi orang-orang murtad secara syar’i termasuk kategori jihad fi sabilillah, karena orang murtad adalah orang kafir bahkan kekafiran mereka lebih besar dan parah dari orang kafir biasa (kafir asli), sedang memerangi mereka berarti meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[19]

Bila menilik tiga kategori orang-orang murtad di atas, kita akan mendapati kesulitan untuk menghadapi kategori pertama dan kedua disebabkan tidak adanya pemerintahan Islam yang berdaulat. Justru, yang ada adalah orang-orang murtad yang berwujud para pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Kelompok murtad ketiga ini jelas-jelas semakin menyuburkan kelompok murtad pertama dan kedua.

Oleh karena itu, para ulama menyatakan jihad melawan orang-orang murtad pada hari ini adalah wajib ‘ain, terutama sekali para pemerintah murtad. Dengan memerangi para pemerintah murtad dan mengembalikan kedaulatan hukum Islam dan pemerintahan Islam, maka barulah orang-orang murtad kelompok pertama dan kedua bisa dihadapi.

Secara sekilas, hukum jihad melawan pemerintahan murtad bisa digambarkan sebagai berikut :

  1. Kaum muslimin selain yang mereka yang mempunyai udzur syar’i, wajib ikut memerangi penguasa yang murtad dan melepaskan diri dari ketaatan kepada penguasa murtad. Hukum ini telah disepakati oleh ahlus sunnah tanpa sedikitpun perselisihkan. Berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah ibnu Shomit rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

دَعَانَا رَسُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ, فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ باَيَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا, وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا, وَآثَارَهُ عَلَيْنَا, وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الَأَمْرَ أَهْلَهُ, قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحَا, عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“ Rosulullah menyeru kami, lalu kami membai’at beliau, beliau membai’at kami untuk mendengar dan taat dalam masalah yang kami senangi dan kami benci, yang sulit bagi kami dan yang mudah bagi kami, dan dalam monopoli yang dilakukan kepada kami, dan kami tidak boleh melepas urusan dari ahlinya. Beliau bersabda : kecuali kalau kamu melihat penguasa itu melakukan kekufuran yang jelas, dan menurut kalian itu ada petunjuk dari Allah.[20]”

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat dikarenakan kekafiran yang jelas menurut ijma’, maka setiap muslim wajib melaksanakan (pemecatan) itu”.[21]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata lagi,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”[22]

Al Hafidz telah menukil perkataan Ibnu Tien,” Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak ?.” Ibnu Hajar berkata,” Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”[23]

Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Shahih Muslim dari qodhi Iyadh yang berkata,” “Para ulama telah sepakat bahwa imam itu tidak dinobatkan dikarenakan kekafirannya, maka kalau nampak darinya kekafiran harus dipecat. ”

Qadhi ‘Iyadh berkata lagi,” Jika terjadi kekafiran atau merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu…”[24]

  1. Dalil yang menguatkan wajibnya memecat penguasa adalah kenyataan bahwa orang-orang murtad tersebut telah berdomisili dan berkuasa di negara muslim. Para fuqoha’ telah menyebutkan bahwa jihad yang semula hukumnya fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain dengan menyerang atau berkuasanya orang kafir di negeri kaum muslimin. Inilah yang disebut dengan jihad difa’i (defensif). Dalam kondisi defensif ini, setiap orang wajib berjihad sesuai kemampuannya.

Imam Al Mawardi berkata :

لأنه قتال دفاع وليس قتال غزو فيصير فرضه على كل مطيق

” Karena peperangan semacam itu adalah peperangan defensif bukan ofensif, maka setiap orang yang mampu wajib melakukannya.”

Imam Al Baghowi berkata :

إذا دخل الكفار دار الإسلام فالجهاد فرض عين على من قرب وفرض كفاية على من بعد

” Ketika orang-orang kafir masuk ke negeri Islam, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dan fardhu kifayah bagi yang jauh”.[25]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة و الدين فواجب إجماعا. فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان.

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[26]

Bercampur dan berkuasanya orang-orang kafir dalam negeri kaum muslimin merupakan bentuk dari masuknya kekuatan kafir bersenjata kedalam negeri kaum muslimin. Dengan demikian, ijma’ ulama yang menyatakan jihad hukumnya fardhu ‘ain, berlaku dalam kondisi ini.[27]

3- Jihad melawan penguasa murtad ini didahulukan atas jihad melawan orang-orang kafir asli (orang musyrikin, munafiqin dan ahlul kitab) yang berada di luar negeri-negeri kaum muslimin.

Hal ini dikarenakan beberapa sebab :[28]

a- Penguasa murtad merupakan musuh yang paling dekat dengan kita daripada orang-orang kafir lainnya. Musuh yang lebih dekat harus didahulukan atas musuh yang lebih jauh, berdasar firman Allah Ta’ala :

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيْكُمْ غِلْظَةٌ

“ Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang dekat dengan kalian dan hendaklah mereka menemui sikap keras (tegas) dari kalian.” (QS. At Taubah ;123).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata,

أمر الله تعالى المؤمنين أن يقاتلوا الكفار أولاً فأولاً، الأقرب فالأقرب إلى حوزة الإسلام، ولهذا بدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم بقتال المشركين في جزيرة العرب، فلما فرغ منهم وفتح الله عليهم مكة والمدينة والطائف واليمن واليمامة وهجر وخيبر وحضرموت وغير ذلك من أقاليم جزيرة العرب ودخل الناس من سائر أحياء العرب في دين الله أفواجاً، شرع في قتال أهل الكتاب فتجهز لغزو الروم الذين هم أقرب الناس إلى جزيرة العرب

“ Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin untuk memerangi orang-orang murtad terlebih dahulu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat dengan kekuasaan Islam. Oleh karena itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memulai memerangi orang-orang musyrik di Jaziroh Arab. Tatkala selesai memerangi mereka, Allah membukakan kepada (nabi dan para shahabat) Makkah, Madinah, Thoif, Yaman, Yamamah, Hajr, Khoibar, Hadlromaut dan daerah-daerah lainnya di jazirah arab, maka masuklah manusia dari seluruh penjuru arab ke dalam Dien Allah dengan berbondong-bondong. (Kemudian Allah) mensyari’atkan perang untuk memerangi Rum, karena merekalah yang paling dekat dengan jazirah arab.”[29]

Ibnu Qudamah berkata :

مسألة: "ويقاتل كل قوم من يليهم من العدو لأن الأقرب أكثر حرزاً، وفي قتاله دفع ضرره عن المقابل له وعمّن وراءه، والإشتغال بالبعيد عنه يمكّنه من انتهاز الفرصة في المسلمين لإشتغالهم عنه".

“ Setiap kaum (hendaknya) memerangi musuh yang terdekat dengan mereka, karena musuh yang terdekat itu paling banyak dijadikan persembunyian (bahayanya). Memerangi musuh yang paling dekat berarti menolak bahayanya dari depan dan dari orang yang ada dibelakangnya. Adapun menyibukkan diri memerangi musuh yang jauh (terlebih dahulu) akan memberi kesempatan kepada mush terdekat untuk menyerang kaum muslimin, karena kaum muslimin dalam kondisi sibuk (menghadapi musuh yang lebih jauh).”[30]

b- Orang murtad lebih utama diperangi daripada orang kafir asli.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

وقد استقرّت السنة بأن عقوبة المرتد أعظم من عقوبة الكافر الأصلي من وجوه متعددة منها: أن المرتد يقتل بكل حال، ولايضرب عليه جزية، ولاتعقد له ذمة، بخلاف الكافر الأصلي، ومنها أن المرتد يقتل وإن كان عاجزاً عن القتال، بخلاف الكافر الأصلي.

“ Telah ditetapkan dalam As Sunnah bahwa sangsi hukuman kepada orang murtad itu lebih keras daripada orang kafir asli, ditinjau dari beberapa segi. Antara lain : (pertama) bahwasanya orang murtad itu diperangi di segala keadaan, tidak boleh diambil jizyah darinya dan tidak dijadikan ahlu dzimmah, berbeda dengan orang kafir asli. (Kedua) orang murtad itu dibunuh walaupun ia tidak mampu untuk berperang, berbeda dengan orang kafir asli.”[31]

Beliau berkata lagi :

وكفر الردّة أغلظ بالإجماع من الكفر الأصلي

“ Menurut ijma’ ulama, kekafiran orang murtad itu lebih besar (parah) dibandingkan orang kafir asli”[32].

Dan beliau berkata lagi :

والصدّيق رضي الله عنه وسائر الصحابة بدأوا بجهاد المرتدين قبل جهاد الكفار من أهل الكتاب، فإن جهاد هؤلاء حفظ لما فتح من بلاد المسلمين ... وحفظ رأس المال مقدم على الربح".

“ Abu Bakar As Shiddiq dan seluruh para shahabat memulai terlebih dahulu memerangi orang-orang murtad sebelum memerangi orang-orang kafir dari ahli kitab, dikarenakan memerangi orang-orang murtad itu berarti menjaga negeri yang teah dikuasai kaum muslimin... Sementara menjaga modal itu lebih didahulukan dari menjaga laba.”[33]

c- Memerangi penguasa murtad termasuk jenis perang defensif.

Imam Ibnu Taimiyyah berkata :

فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[34]

d- Karena perkara syar’i bersesuaian dengan perkara qodari. Berkuasanya orang-orang kafir atas orang-orang beriman merupakan sebuah takdir (amru qadari). Perintah jihad mengusir mereka merupakan perintah syar’i (amru syar’i). Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk menolak amru qadari dengan amru syar’i.[35] Orang-orang kafir tidak akan dapat menguasai ummat Islam kecuali melalui orang-orang murtad tersebut. Siapakah yang menjadikan Yahudi berkuasa atas Palestina ? Para penguasa murtad. Mereka tidak mempunyai pekerjaan selain melindungi eksistensi orang-orang Yahudi. Siapakah yang menjadikan kekuatan kafir dan syirik mempunyai eksistensi di negara-negara ummat Islam dengan menguasai perekonomian, politik, militer dan segala aspek kehidupan lainnya ? Tak diragukan lagi adalah para penguasa dan kelompok orang-orang murtad. [36]

Kewajiban memerangi para penguasa murtad ini merupakan sebuah fardhu ‘ain yang hari ini banyak tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena itu, setiap orang yang telah memahami kewajiban ini selayaknya menyebar luaskannya kepada umat Islam, baik dengan dakwah fardiyah maupun dakwah umum.[37]

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al Mishri mengingatkan kaum muslimin dengan mengatakan,” Sesungguhnya di antara kewajiban thaifah manshurah yang paling besar pada zaman ini adalah berjihad melawan para penguasa murtad yang mengganti syariat Allah dan memerintah kaum muslimin dengan undang-undang positif..”[38]

Syubhat :

Para ulama Islam telah sepakat menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir menyerang atau menguasai negeri Islam, maka ketika itu jihad menjadi fardhu ‘ain. Para penguasa murtad yang berkuasa atas negeri Islam saat ini adalah orang-orang kafir (bahkan kekafiran mereka lebih parah dari orang kafir asli). Dengan demikian, jihad melawan mereka merupakan fardhu ‘ain.

Namun ada sebagian kalangan yang menolak hukum ini, dengan melontarkan syubhat bahwa ijma’ ulama tentang fardhu ‘ainnya jihad ketika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin itu adalah ketika orang-orang kafir tersebut berasal dari luar daerah umat Islam (orang-orang asing). Adapun para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini adalah penduduk asli, bukan orang asing dari luar. Dengan demikian, hukum fardhu ‘ain jihad melawan mereka merupakan fatwa yang salah.

Jawab :

Masalah murtadnya penguasa sudah diatur dengan nash tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah bin Shomit. Nash ini tegas menyatakan wajibnya jihad melawan pemerintah kafir dan murtad.

Adapun empat point (a,b,c dan d) tentang pentingnya jihad melawan penguasa murtad di atas bukan merupakan dalil wajibnya jihad melawan pemerintah murtad ---karena sudah ada dalil tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah---. Empat point di atas mempunyai faedah lain, yaitu menguatkan perintah wajibnya jihad melawan pemerintah murtad dan kewajiban mendahulukan jihad jenis ini atas jihad-jihad lainnya.

Sebagai jawaban syubhat di atas, syariah sama sekali tidak membedakan konskuensi hukum yang ditimbulkan antara orang kafir asli (pribumi) dan kafir asing.

Allah Ta’ala tidak membedakan antara kafir pribumi dan kafir asing :

قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَتَسْئَلْنِ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“ Allah berfirman:" Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlahkamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." [QS. Huud :46].

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“ Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ [QS. Al Mumtahanah :4].

إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّ مُبِينًا

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”[QS. An Nisa’ :101].

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa sebab permusuhan adalah kekafiran, bukan karena sebab lain seperti kafir pribumi atau kafir asing. Karena permusuhan hukumnya wajib, baik orang kafir tersebut adalah anak sendiri, ayah sendiri, saudara sendiri , kaum sendiri dan seterusnya. Sebab permusuhan ini juga menjadi sebab hukuman. Artinya, bila orang kafir murtad dimusuhi karena kekafirannya, maka begitu juga ia dihukum

mati karena kekafirannya, sebagaimana hadits “ Barang siapa mengganti diennya, maka bunuhlah ia”, mengganti dien maknanya murtad alias kembali kafir setelah beriman.

Dengan demikian jelas, kekafiranlah yang menyebabkan adanya hukuman. Maka sama saja, apakah orang kafir berasal dari luar negeri kaum muslimin atau berasal dari dalam negeri kaum muslimin, selama ia kafir dan berkuasa maka wajib hukumnya jihad melawannya. Artinya, jihad saat itu adalah fardhu ‘ain.

Dengan kekafirannya, penguasa yang semula beragama Islam dan berasal dari dalam negeri kaum muslimin, telah berubah menjadi orang asing, sebagaimana asingnya anak Nabi Nuh karena kafir (QS. Hud :45-47).

Memang ada sifat-sifat sekunder lain yang berpengaruh terhadap hukuman, seperti ;

- Perbedaan antara kafir asli dan kafir murtad. Kafir murtad hukumannya lebih berat.

- Perbedaan antara kafir yang memerangi umat Islam dan kafir yang mengikat perdamaian dengan umat Islam.

- Perbedaan antara kafir yang dekat dengan kafir yang jauh dalam prioritas jihad.

Dari sini jelas sekali bahwa para penguasa murtad mengumpulkan seluruh sifat yang memberatkan kekafiran mereka, yaitu : murtad, memerangi dan dekat. Karenanya jihad melawan mereka hukumnya lebih wajib.

Contoh persoalan yang semisal dengan hal ini adalah persoalan khamr (minuman keras) yang memabukkan. Baik namanya alcohol, atau wiski atau tuak atau lainnya, baik berupa produk dalam negeri maupun impor, baik warnanya hitam atau merah atau putih, semua sifat ini tidak mempengaruhi status hukum. Sifat yang mempengaruhi status hukum addalah memabukkan. Selama sifatnya memabukkan, maka hukumnya haram apapun nama, warna dan asalnya. Di sini juga ada sifat lain yang mempengaruhi ringan dan beratnya hukuman, seperti meminum khamr pada siang hari Ramadhan.

Orang yang membedakan status hukum antara orang kafir asing yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin dengan orang kafir (murtad) pribumi, ia seperti orang yang membedakan status hukum antara khamr dalam negeri dan khamr impor.[39]

[1] - Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369, karya An Nawawi.

[2] - Lisanul ‘Arab III/173.

[3] . Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369

[4] - Kitabu Tauhid III/22, Dr. Sholih Fauzan.

[5] - Fiqhu Sunah II/381, Daarul Fikr, 1403 H.

[6] - Mughnil Muhtaj IV/134 karya An Nawawi, dinukil dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/55.

[7] - Syarhu Minahil Jalil IV/461, dinukil dari Manhaju Ibni Taimiyah fi Mas-alati Takfir hal. 25, karya Dr. Abdul Majid bin Salim bin Abdullah Al Masy’abi, Adhwau Salaf 1418 H.

[8] - Al Mughni XII / 264,

[9] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal. 26-27.

[10] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal.25.

[11] . Sunan Abu Daud Kitabul Hudud bab Al Hukmu fii man Irtadda, no 4351 hal 657. Dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohih al Jama’ Ash Shoghir II/1229 no 7367.

[12]. Sunan Nasa’I Kitabu Ad Dzam bab Al hukmu fi Al Murtad no 4068 / 4069 hal :566-567. Sunan Ibnu Majah Kitabul Hudud bab Al Murtad ‘an Diinihi no 2535 hal 364. Jami’ At Tirmidzi , Kitabul Hudud no 1458 hal 354. dan dishohihkan oleh al Albani dalam shohih al Jami’ Ash Shoghir II/1055 no 6125.

[13]. Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369

[14] . Al-Majmu’ XX/380

[15] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, An-Nawawi: XX/391

[16] . Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al Mawardi hal: 104 (ed. Tarjamah )

[17] . Al-Qaulul Qoti’ fiiman Imtana’a ‘Anisy Syaroi’, ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid hal: 23.

[18] . HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771. Lihat Al-Imamatul ‘Udzma hal.500-501.

[19] - Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/58-59.

[20] - HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771.

[21] . Fathul Bari : XIII/123

[22] . Fathul Bari XIII/154.

[23] - Fathul Bari XIII/124.

[24] - Syarhu Shahih Muslim XII/229.

[25] . Syarhus Sunnah : X/374

[26] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[27] . Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini.

[28] - Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini dan Al Umdatu Fi I’dadil ‘Udati hal. 296-304, oleh Abdul Qadir Abdul Aziz.

[29] - Tafsir Ibnu Katsir II/422-423.

[30] . Al Mughni Ma’a Syarhi Al Kabir : X/372-373.

[31] . Majmu’ Fatawa : XXVIII/534.

[32] . Idem : XXVIII/47.

[33] . Idem : XXXV/158-159.

[34] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[35] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 274-280. Karya Abdul Qadir Abdul Aziz.

[36] - Lihat kitab Ma’alim At Thoifah Al Manshuroh, Abu Qotadah.

[37] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 301.

[38] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 82.

[39] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 303-304.

JIHAD MELAWAN ORANG MURTAD


A. Pengertian Murtad

Secara Bahasa :

- Riddah secara bahasa adalah kembali dari sesuatu menuju yang lainnya.”[1]

- Tahawwala (berpindah), dikatakan irtadda (murtad) dan irtadda ‘anhu (murtad darinya) maknanya adalah berpindah.[2]

Secara Syar’i :

- Dan secara syar’i: qoth’ul Islam (melepaskan, membatalkan Islam).”[3]

- Kafir kembali setelah sebelumnya muslim.[4]

- Kembali kafirnya seorang muslim yang berakal dan baligh dengan kerelaannya sendiri tanpa paksaan dari seorangpun.[5]

- Membatalkan keislaman dengan niat atau sebuah ucapan kekufuran atau dengan perbuatan, baik ia mengucapkan perbuatan tersebut dengan mengolok-olok (sendau gurau, menganggap remeh), atau membangkang atau dengan disertai keyakinan.”[6]

- Kafirnya seorang muslim dengan perkataan yang jelas, atau lafal yang menuntut kekafiran atau perbuatan yang mengandung kekafiran seperti melemparkan mushaf ke tempat kotoran atau memakai sabuk (tanda pengenal orang-orang kafir dzimmi) dan lain sebagainya.[7]

- Kembali kepada kekufuran setelah sebelumnya memeluk Islam.[8]

B. Hukuman Bagi Orang Murtad

Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan ;

Pertama: Mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.

Para ulama dari keempat madzhab telah sepakat bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila dalam jangka waktu yang diberikan ia tetap tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum bunuh.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang diberikan :

- Madzhab Maliki. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah menyatakan wajib hukumnya memberi tenggang waktu untuk bertaubat bagi orang yang murtad baik ia laki-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka selama tiga hari berturut-turut. Imam Ibnu Qasim berpendapat diberi tenggang waktu tiga kali (kesempatan) meskipun dalam satu hari. Sementara sebuah riwayat dari Imam Malik menyatakan diberi satu kali (kesempatan), jika menolak untuk bertaubat maka langsung dibunuh tanpa ditunda-tunda.

- Madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i dan para shahabatnya mengatakan orang yang murtad dibunuh langsung saat ia menolak untuk bertaubat. Namun bila diambil kebijakan memberi tenggang waktu tiga hari kemudian ia menampakkan keimanan, maka ia tidak dibunuh.

- Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah sependapat dengan imam Syafi’i, namun beliau menambahkan bahwa jika orang yang murtad meminta tenggang waktu, maka ia diberi kesempatan selama tiga hari.

- Madzhab Hanbali. Para ulama Hanabilah menyatakan orang yang murtad tidak dibunuh kecuali setelah diberi tenggang waktu tiga hari.[9]

Syaikh Abdul Majid Al Masy’abi mengatakan,” Orang murtad dihukum bunuh berdasar nash Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam dan ijma’ para shahabat. Ia dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya dengan pedang karena pedang merupakan alat untuk membunuh, dan orang yang murtad tidak boleh dibakar dengan api.”[10]

Dari ‘Ikrimah beliau berkata,” Dihadapkan kepada amirul mukminin Ali rhodhiyallahu ‘anhu orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas maka beliau berkata,” Kalau aku, maka aku tidak akan membakar mereka karena Rosululloh melarang hal itu dengan bersabda:

لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللهِ

“Janganlah kalian mengadzab dengan adzab Alloh (api)!”.[11]

Namun aku pasti akan membunuh mereka karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda :

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوه

“Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!”. [12]

Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepadanya: ”Pergilah ke Yaman!” Kemudian diikuti oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata: ”Turunlah!” Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang terikat. Ia bertanya: ”Siapa ini?” ia menjawab: ”orang ini dahulu Yahudi lalu masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi.”Aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Alloh dan Rosul-Nya”. (Muttafaq ‘alaih).

Imam Ar-Rofi’i dan An-Nawawi berkata,” Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras hukumnya.”[13]

Imam An-Nawawi berkata,” Apabila seseorang murtad, maka wajib untuk dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman dia atas dan hadits Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam & bersabda: “Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!” Dan ini adalah hadits shohih. Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama saja apakah ia lahir dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.[14]

Kedua: Mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri.

Mereka ini wajib untuk diperangi, yang melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Jika ia tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.

Imam Asy-Syairozi berkata,” Dan jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar rhodhiyallahu ‘anhu telah memerangi kelompok yang murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dibunuh. Karena memerangi ahlul harbi saja hukumnya wajib, maka terlebih lagi memerangi kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran orang yang murtad lebih besar (dari kafir harbi). Jika mereka ada yang tertawan, maka ia disuruh bertaubat. Kalau tidak mau bertaubat maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.[15]

Imam Al-Mawardi berkata,” Kondisi kedua. Mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilayah kaum muslimin sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisi mereka seperti itu maka mereka wajib diperangi disebabkan kemurtadan mereka, setelah sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparkan kepada mereka.[16]

Syaikh ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid berkata,” Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok apapun yang mempunyai kekuatan yang tidak mau melaksanakan sebuah syari’at dari syari’at-syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir, meskipun kelompok tersebut adalah kelompok Islam, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, dan sama saja apakah yang mereka tinggalkan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka tetap mengakui atas wajibnya syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka diperangi sampai mau melaksanakan apa yang mereka tinggalkan. Adapun jika meninggalkannya itu karena mengingkari/menolak syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka telah murtad, dan diperangi sampai kembali kepada syari’at Islam. Adalah wajib hukumnya memerangi dua macam kelompok ini berdasarkan ijma’.[17]

Ketiga : Bila yang murtad adalah penguasa.

Bila penguasa murtad, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menggulingkannya, meskipun untuk itu harus ditempuh jalan perang. Bagi yang mampu melaksanakannya akan mendapat pahala dan bagi orang yang justru berkompromi akan mendapat dosa, dan bagi yang tidak mempunyai kemampuan ia harus beri’dad atau berhijroh, tergantung tinjauan kondisi, kemampuan dan maslahat-madharat.

Syaikh Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad,” Juga sudah merupakan suatu kesepakatan (para ulama –ed) wajibnya memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Jika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka mereka harus mencari jalan yang paling dekat untuk menggulingkannya dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah tersebut walaupun untuk hal itu harus bersusah payah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:

وَ أَلَّا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”[18]

  1. C. Hukum memerangi penguasa murtad dalam negeri kaum muslimin

Para ulama sepakat menyatakan bahwa memerangi orang-orang murtad secara syar’i termasuk kategori jihad fi sabilillah, karena orang murtad adalah orang kafir bahkan kekafiran mereka lebih besar dan parah dari orang kafir biasa (kafir asli), sedang memerangi mereka berarti meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[19]

Bila menilik tiga kategori orang-orang murtad di atas, kita akan mendapati kesulitan untuk menghadapi kategori pertama dan kedua disebabkan tidak adanya pemerintahan Islam yang berdaulat. Justru, yang ada adalah orang-orang murtad yang berwujud para pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Kelompok murtad ketiga ini jelas-jelas semakin menyuburkan kelompok murtad pertama dan kedua.

Oleh karena itu, para ulama menyatakan jihad melawan orang-orang murtad pada hari ini adalah wajib ‘ain, terutama sekali para pemerintah murtad. Dengan memerangi para pemerintah murtad dan mengembalikan kedaulatan hukum Islam dan pemerintahan Islam, maka barulah orang-orang murtad kelompok pertama dan kedua bisa dihadapi.

Secara sekilas, hukum jihad melawan pemerintahan murtad bisa digambarkan sebagai berikut :

  1. Kaum muslimin selain yang mereka yang mempunyai udzur syar’i, wajib ikut memerangi penguasa yang murtad dan melepaskan diri dari ketaatan kepada penguasa murtad. Hukum ini telah disepakati oleh ahlus sunnah tanpa sedikitpun perselisihkan. Berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah ibnu Shomit rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

دَعَانَا رَسُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ, فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ باَيَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا, وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا, وَآثَارَهُ عَلَيْنَا, وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الَأَمْرَ أَهْلَهُ, قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحَا, عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“ Rosulullah menyeru kami, lalu kami membai’at beliau, beliau membai’at kami untuk mendengar dan taat dalam masalah yang kami senangi dan kami benci, yang sulit bagi kami dan yang mudah bagi kami, dan dalam monopoli yang dilakukan kepada kami, dan kami tidak boleh melepas urusan dari ahlinya. Beliau bersabda : kecuali kalau kamu melihat penguasa itu melakukan kekufuran yang jelas, dan menurut kalian itu ada petunjuk dari Allah.[20]”

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat dikarenakan kekafiran yang jelas menurut ijma’, maka setiap muslim wajib melaksanakan (pemecatan) itu”.[21]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata lagi,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”[22]

Al Hafidz telah menukil perkataan Ibnu Tien,” Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan ; apakah dilawan atau tidak ?.” Ibnu Hajar berkata,” Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenaih hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”[23]

Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Shahih Muslim dari qodhi Iyadh yang berkata,” “Para ulama telah sepakat bahwa imam itu tidak dinobatkan dikarenakan kekafirannya, maka kalau nampak darinya kekafiran harus dipecat. ”

Qadhi ‘Iyadh berkata lagi,” Jika terjadi kekafiran atau merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. JIka tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu…”[24]

  1. Dalil yang menguatkan wajibnya memecat penguasa adalah kenyataan bahwa orang-orang murtad tersebut telah berdomisili dan berkuasa di negara muslim. Para fuqoha’ telah menyebutkan bahwa jihad yang semula hukumnya fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain dengan menyerang atau berkuasanya orang kafir di negeri kaum muslimin. Inilah yang disebut dengan jihad difa’i (defensif). Dalam kondisi defensif ini, setiap orang wajib berjihad sesuai kemampuannya.

Imam Al Mawardi berkata :

لأنه قتال دفاع وليس قتال غزو فيصير فرضه على كل مطيق

” Karena peperangan semacam itu adalah peperangan defensif bukan ofensif, maka setiap orang yang mampu wajib melakukannya.”

Imam Al Baghowi berkata :

إذا دخل الكفار دار الإسلام فالجهاد فرض عين على من قرب وفرض كفاية على من بعد

” Ketika orang-orang kafir masuk ke negeri Islam, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dan fardhu kifayah bagi yang jauh”.[25]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة و الدين فواجب إجماعا. فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان.

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[26]

Bercampur dan berkuasanya orang-orang kafir dalam negeri kaum muslimin merupakan bentuk dari masuknya kekuatan kafir bersenjata kedalam negeri kaum muslimin. Dengan demikian, ijma’ ulama yang menyatakan jihad hukumnya fardhu ‘ain, berlaku dalam kondisi ini.[27]

3- Jihad melawan penguasa murtad ini didahulukan atas jihad melawan orang-orang kafir asli (orang musyrikin, munafiqin dan ahlul kitab) yang berada di luar negeri-negeri kaum muslimin.

Hal ini dikarenakan beberapa sebab :[28]

a- Penguasa murtad merupakan musuh yang paling dekat dengan kita daripada orang-orang kafir lainnya. Musuh yang lebih dekat harus didahulukan atas musuh yang lebih jauh, berdasar firman Allah Ta’ala :

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيْكُمْ غِلْظَةٌ

“ Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang dekat dengan kalian dan hendaklah mereka menemui sikap keras (tegas) dari kalian.” (QS. At Taubah ;123).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata,

أمر الله تعالى المؤمنين أن يقاتلوا الكفار أولاً فأولاً، الأقرب فالأقرب إلى حوزة الإسلام، ولهذا بدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم بقتال المشركين في جزيرة العرب، فلما فرغ منهم وفتح الله عليهم مكة والمدينة والطائف واليمن واليمامة وهجر وخيبر وحضرموت وغير ذلك من أقاليم جزيرة العرب ودخل الناس من سائر أحياء العرب في دين الله أفواجاً، شرع في قتال أهل الكتاب فتجهز لغزو الروم الذين هم أقرب الناس إلى جزيرة العرب

“ Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin untuk memerangi orang-orang murtad terlebih dahulu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat dengan kekuasaan Islam. Oleh karena itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memulai memerangi orang-orang musyrik di Jaziroh Arab. Tatkala selesai memerangi mereka, Allah membukakan kepada (nabi dan para shahabat) Makkah, Madinah, Thoif, Yaman, Yamamah, Hajr, Khoibar, Hadlromaut dan daerah-daerah lainnya di jazirah arab, maka masuklah manusia dari seluruh penjuru arab ke dalam Dien Allah dengan berbondong-bondong. (Kemudian Allah) mensyari’atkan perang untuk memerangi Rum, karena merekalah yang paling dekat dengan jazirah arab.”[29]

Ibnu Qudamah berkata :

مسألة: "ويقاتل كل قوم من يليهم من العدو لأن الأقرب أكثر حرزاً، وفي قتاله دفع ضرره عن المقابل له وعمّن وراءه، والإشتغال بالبعيد عنه يمكّنه من انتهاز الفرصة في المسلمين لإشتغالهم عنه".

“ Setiap kaum (hendaknya) memerangi musuh yang terdekat dengan mereka, karena musuh yang terdekat itu paling banyak dijadikan persembunyian (bahayanya). Memerangi musuh yang paling dekat berarti menolak bahayanya dari depan dan dari orang yang ada dibelakangnya. Adapun menyibukkan diri memerangi musuh yang jauh (terlebih dahulu) akan memberi kesempatan kepada mush terdekat untuk menyerang kaum muslimin, karena kaum muslimin dalam kondisi sibuk (menghadapi musuh yang lebih jauh).”[30]

b- Orang murtad lebih utama diperangi daripada orang kafir asli.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

وقد استقرّت السنة بأن عقوبة المرتد أعظم من عقوبة الكافر الأصلي من وجوه متعددة منها: أن المرتد يقتل بكل حال، ولايضرب عليه جزية، ولاتعقد له ذمة، بخلاف الكافر الأصلي، ومنها أن المرتد يقتل وإن كان عاجزاً عن القتال، بخلاف الكافر الأصلي.

“ Telah ditetapkan dalam As Sunnah bahwa sangsi hukuman kepada orang murtad itu lebih keras daripada orang kafir asli, ditinjau dari beberapa segi. Antara lain : (pertama) bahwasanya orang murtad itu diperangi di segala keadaan, tidak boleh diambil jizyah darinya dan tidak dijadikan ahlu dzimmah, berbeda dengan orang kafir asli. (Kedua) orang murtad itu dibunuh walaupun ia tidak mampu untuk berperang, berbeda dengan orang kafir asli.”[31]

Beliau berkata lagi :

وكفر الردّة أغلظ بالإجماع من الكفر الأصلي

“ Menurut ijma’ ulama, kekafiran orang murtad itu lebih besar (parah) dibandingkan orang kafir asli”[32].

Dan beliau berkata lagi :

والصدّيق رضي الله عنه وسائر الصحابة بدأوا بجهاد المرتدين قبل جهاد الكفار من أهل الكتاب، فإن جهاد هؤلاء حفظ لما فتح من بلاد المسلمين ... وحفظ رأس المال مقدم على الربح".

“ Abu Bakar As Shiddiq dan seluruh para shahabat memulai terlebih dahulu memerangi orang-orang murtad sebelum memerangi orang-orang kafir dari ahli kitab, dikarenakan memerangi orang-orang murtad itu berarti menjaga negeri yang teah dikuasai kaum muslimin... Sementara menjaga modal itu lebih didahulukan dari menjaga laba.”[33]

c- Memerangi penguasa murtad termasuk jenis perang defensif.

Imam Ibnu Taimiyyah berkata :

فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه، فلا يشترط له شرط بل يدفع بحسب الإمكان

” Adapun perang defensif, maka merupakan bentuk perang paling penting dalam membela kehormatan dan dien yang diserang. Hukumnya wajib menurut ijma’. Musuh agresor yang merusak dien dan dunia, tidak ada kewajiban yang lebih wajib (penting) setelah iman selain melawan mereka. Untuk itu tidak disyaratkan sebuah syaratpun, mereka harus dilawan sesuai kemampuan.”[34]

d- Karena perkara syar’i bersesuaian dengan perkara qodari. Berkuasanya orang-orang kafir atas orang-orang beriman merupakan sebuah takdir (amru qadari). Perintah jihad mengusir mereka merupakan perintah syar’i (amru syar’i). Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk menolak amru qadari dengan amru syar’i.[35] Orang-orang kafir tidak akan dapat menguasai ummat Islam kecuali melalui orang-orang murtad tersebut. Siapakah yang menjadikan Yahudi berkuasa atas Palestina ? Para penguasa murtad. Mereka tidak mempunyai pekerjaan selain melindungi eksistensi orang-orang Yahudi. Siapakah yang menjadikan kekuatan kafir dan syirik mempunyai eksistensi di negara-negara ummat Islam dengan menguasai perekonomian, politik, militer dan segala aspek kehidupan lainnya ? Tak diragukan lagi adalah para penguasa dan kelompok orang-orang murtad. [36]

Kewajiban memerangi para penguasa murtad ini merupakan sebuah fardhu ‘ain yang hari ini banyak tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena itu, setiap orang yang telah memahami kewajiban ini selayaknya menyebar luaskannya kepada umat Islam, baik dengan dakwah fardiyah maupun dakwah umum.[37]

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz Al Mishri mengingatkan kaum muslimin dengan mengatakan,” Sesungguhnya di antara kewajiban thaifah manshurah yang paling besar pada zaman ini adalah berjihad melawan para penguasa murtad yang mengganti syariat Allah dan memerintah kaum muslimin dengan undang-undang positif..”[38]

Syubhat :

Para ulama Islam telah sepakat menyatakan bahwa ketika orang-orang kafir menyerang atau menguasai negeri Islam, maka ketika itu jihad menjadi fardhu ‘ain. Para penguasa murtad yang berkuasa atas negeri Islam saat ini adalah orang-orang kafir (bahkan kekafiran mereka lebih parah dari orang kafir asli). Dengan demikian, jihad melawan mereka merupakan fardhu ‘ain.

Namun ada sebagian kalangan yang menolak hukum ini, dengan melontarkan syubhat bahwa ijma’ ulama tentang fardhu ‘ainnya jihad ketika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin itu adalah ketika orang-orang kafir tersebut berasal dari luar daerah umat Islam (orang-orang asing). Adapun para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini adalah penduduk asli, bukan orang asing dari luar. Dengan demikian, hukum fardhu ‘ain jihad melawan mereka merupakan fatwa yang salah.

Jawab :

Masalah murtadnya penguasa sudah diatur dengan nash tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah bin Shomit. Nash ini tegas menyatakan wajibnya jihad melawan pemerintah kafir dan murtad.

Adapun empat point (a,b,c dan d) tentang pentingnya jihad melawan penguasa murtad di atas bukan merupakan dalil wajibnya jihad melawan pemerintah murtad ---karena sudah ada dalil tersendiri, yaitu hadits shahabat Ubadah---. Empat point di atas mempunyai faedah lain, yaitu menguatkan perintah wajibnya jihad melawan pemerintah murtad dan kewajiban mendahulukan jihad jenis ini atas jihad-jihad lainnya.

Sebagai jawaban syubhat di atas, syariah sama sekali tidak membedakan konskuensi hukum yang ditimbulkan antara orang kafir asli (pribumi) dan kafir asing.

Allah Ta’ala tidak membedakan antara kafir pribumi dan kafir asing :

قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَتَسْئَلْنِ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“ Allah berfirman:" Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlahkamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." [QS. Huud :46].

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“ Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ [QS. Al Mumtahanah :4].

إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّ مُبِينًا

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”[QS. An Nisa’ :101].

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa sebab permusuhan adalah kekafiran, bukan karena sebab lain seperti kafir pribumi atau kafir asing. Karena permusuhan hukumnya wajib, baik orang kafir tersebut adalah anak sendiri, ayah sendiri, saudara sendiri , kaum sendiri dan seterusnya. Sebab permusuhan ini juga menjadi sebab hukuman. Artinya, bila orang kafir murtad dimusuhi karena kekafirannya, maka begitu juga ia dihukum

mati karena kekafirannya, sebagaimana hadits “ Barang siapa mengganti diennya, maka bunuhlah ia”, mengganti dien maknanya murtad alias kembali kafir setelah beriman.

Dengan demikian jelas, kekafiranlah yang menyebabkan adanya hukuman. Maka sama saja, apakah orang kafir berasal dari luar negeri kaum muslimin atau berasal dari dalam negeri kaum muslimin, selama ia kafir dan berkuasa maka wajib hukumnya jihad melawannya. Artinya, jihad saat itu adalah fardhu ‘ain.

Dengan kekafirannya, penguasa yang semula beragama Islam dan berasal dari dalam negeri kaum muslimin, telah berubah menjadi orang asing, sebagaimana asingnya anak Nabi Nuh karena kafir (QS. Hud :45-47).

Memang ada sifat-sifat sekunder lain yang berpengaruh terhadap hukuman, seperti ;

- Perbedaan antara kafir asli dan kafir murtad. Kafir murtad hukumannya lebih berat.

- Perbedaan antara kafir yang memerangi umat Islam dan kafir yang mengikat perdamaian dengan umat Islam.

- Perbedaan antara kafir yang dekat dengan kafir yang jauh dalam prioritas jihad.

Dari sini jelas sekali bahwa para penguasa murtad mengumpulkan seluruh sifat yang memberatkan kekafiran mereka, yaitu : murtad, memerangi dan dekat. Karenanya jihad melawan mereka hukumnya lebih wajib.

Contoh persoalan yang semisal dengan hal ini adalah persoalan khamr (minuman keras) yang memabukkan. Baik namanya alcohol, atau wiski atau tuak atau lainnya, baik berupa produk dalam negeri maupun impor, baik warnanya hitam atau merah atau putih, semua sifat ini tidak mempengaruhi status hukum. Sifat yang mempengaruhi status hukum addalah memabukkan. Selama sifatnya memabukkan, maka hukumnya haram apapun nama, warna dan asalnya. Di sini juga ada sifat lain yang mempengaruhi ringan dan beratnya hukuman, seperti meminum khamr pada siang hari Ramadhan.

Orang yang membedakan status hukum antara orang kafir asing yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin dengan orang kafir (murtad) pribumi, ia seperti orang yang membedakan status hukum antara khamr dalam negeri dan khamr impor.[39]

[1] - Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369, karya An Nawawi.

[2] - Lisanul ‘Arab III/173.

[3] . Al-Majmu’ Syarhu Muhadzab XX/369

[4] - Kitabu Tauhid III/22, Dr. Sholih Fauzan.

[5] - Fiqhu Sunah II/381, Daarul Fikr, 1403 H.

[6] - Mughnil Muhtaj IV/134 karya An Nawawi, dinukil dari Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/55.

[7] - Syarhu Minahil Jalil IV/461, dinukil dari Manhaju Ibni Taimiyah fi Mas-alati Takfir hal. 25, karya Dr. Abdul Majid bin Salim bin Abdullah Al Masy’abi, Adhwau Salaf 1418 H.

[8] - Al Mughni XII / 264,

[9] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal. 26-27.

[10] - Manhaju Ibni Taimiyah Fi Mas-alati Takfir hal.25.

[11] . Sunan Abu Daud Kitabul Hudud bab Al Hukmu fii man Irtadda, no 4351 hal 657. Dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohih al Jama’ Ash Shoghir II/1229 no 7367.

[12]. Sunan Nasa’I Kitabu Ad Dzam bab Al hukmu fi Al Murtad no 4068 / 4069 hal :566-567. Sunan Ibnu Majah Kitabul Hudud bab Al Murtad ‘an Diinihi no 2535 hal 364. Jami’ At Tirmidzi , Kitabul Hudud no 1458 hal 354. dan dishohihkan oleh al Albani dalam shohih al Jami’ Ash Shoghir II/1055 no 6125.

[13]. Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369

[14] . Al-Majmu’ XX/380

[15] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, An-Nawawi: XX/391

[16] . Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al Mawardi hal: 104 (ed. Tarjamah )

[17] . Al-Qaulul Qoti’ fiiman Imtana’a ‘Anisy Syaroi’, ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid hal: 23.

[18] . HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771. Lihat Al-Imamatul ‘Udzma hal.500-501.

[19] - Al Jihaadu wal Qitaalu Fi Siyasah Syar’iyah I/58-59.

[20] - HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771.

[21] . Fathul Bari : XIII/123

[22] . Fathul Bari XIII/154.

[23] - Fathul Bari XIII/124.

[24] - Syarhu Shahih Muslim XII/229.

[25] . Syarhus Sunnah : X/374

[26] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[27] . Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini.

[28] - Lihat Ma’alim Thoifah Manshuruoh, oleh Abu Qotadah Al Falistini dan Al Umdatu Fi I’dadil ‘Udati hal. 296-304, oleh Abdul Qadir Abdul Aziz.

[29] - Tafsir Ibnu Katsir II/422-423.

[30] . Al Mughni Ma’a Syarhi Al Kabir : X/372-373.

[31] . Majmu’ Fatawa : XXVIII/534.

[32] . Idem : XXVIII/47.

[33] . Idem : XXXV/158-159.

[34] - Al Fatawa Al Kubra V/538, Daarul Kutub Al Ilmiyah, 1408 H.

[35] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 274-280. Karya Abdul Qadir Abdul Aziz.

[36] - Lihat kitab Ma’alim At Thoifah Al Manshuroh, Abu Qotadah.

[37] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 301.

[38] - Al Umdatu fi I’dadil Uddah hal. 82.

[39] - Al Umdatu Fi I’dadil Uddah hal. 303-304.

Sabtu, 21 Agustus 2010

NUZULUL QUR'AN, 17 Ramadhan...?

Pengertian Bulan Ramadhan
Bulan bahasa arabnya adalah Asy Syahru. Menurut Ibnu Ath Thabari, Asy Syahru berasal dari kata Asy Syuhrah. Dikatakan,"Si Fulan 'Syahara' pedangnya." jika dia mengeluarkan pedang dari sarungnya kemudian dia menghunusnya untuk menebas. Dan (dikatakan Yasyhuruhu syahran" atau"Syahara Asy Syahru," jika hilal telah terbit."Dan (dikatakan juga), "Asyharna nahnu," apabila kita memasuki bulan tertentu." Adapun Ramadhan, menurut sebagian ahli bahasa Arab, disebut demikian dikarenakan panas yang sangat yang teriadi pada bulan tersebut, hingga anak unta kepanasan. (Jami'ul Bayal fi Ta'wilil Qur'an, III/444).
Menurut Mujahid dan Muhammad bin Ka'ab, Ramadhan adalah diantara nama-nama Allah SWT. Maka bila dikatakan bulan Ramadhan maksudnya bulan Allah SWT. Sehmgga beliau tidak suka bila dikatakan Ramadhan saja, namun Syahru Ramadhan (Bulan Ramadhan).
Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah, beliau berkata "Janganlah kalian mengatakan,"Ramadhan".Karena sesungguhnya Ramadhan adalah salah satu nama diantara nama-nama Allah. Namun katakanlah,"Syahru (bulan) Ramadhan."
Menurut Ibnu Katsir riwayat ini dha'if (lemah). Karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Abu Ma'syar, namanya adalah Najib bin Abdurrahman Al Madini. Dia adalah seorang imam dalam Al Maghazi (sejarah peperangan) dan Sirah, namun didalamnya terdapat kelemahan.
Sedangkan yang benar menurut Al Baghawi, Ramadhan adalah nama bulan. Disebut Ramadhan karena berasal dari kata Ar Ramdha' yaitu bebatuan yang panas dan orang-orang berpuasa di waktu yang sangat panas tersebut sehigga bebatuan pada waktu itu menjadi panas " (Ma'alimut Tanzil,1/198)
Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit pun membolehkannya untuk mengatakan Ramadhan,tanpa disertai Syahru. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang di riwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa yang puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisab (mengharap pahala) maka dia diampuni dari dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari)

Pada Bulan Ramadhan Al Qur'an Diturunkan
Firman Allah SWT, "Di dalamnya diturunkan Al Quran." Ibnu Jarir Ath Thabari berkata, "Allah menyebutkan bahwa Dia menurunkan Al Qur'an pada malam Lailatul Qadar dari Lauful Mahfudz ke langit dunia, malam Lailatul Qadar dari bulan Ramadhan. Kemudian diturunkan kepada Muhammad SAW sesuai yang dikehendaki oleh Allah." (Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, III/445)
Abu Bakar Jabir Al Jaza'iri berkata, "Ayat ini menunjukkan kemuliaan bulan Ramadhan atas bulan-bulan yang lain. Karena di dalamnya Al Qur'an diturunkan, yaitu pada malam Lailatui Qadar...Allah menurunkan (Al Qur'an) jumlatan wahidatan (sekaligus) dari Lauhul Mahfudz ke baitul Izzah di langit dunia, kemudian Dia menurunkannya secara berangsur-angsur. Pertama kali turun kepada Rasulullah juga pada bulan Ramadhan. (Aisarut Tafaasir,1/82).
Menurut Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri inilah pendapat yang paling kuat diantara pendapat yang ada, bahwa Al Qur'an diturunkan pertama kali adalah pada bulan Ramadhan, tepatnya pada Lailatul Qadar. (Ar Rahiqul Makhtum.)
Pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah SWT :
“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al Quran."(Al Baqarah: 185)
Begitu pula firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam Lailatul Qadar."(Al Qadar: 1)
Dan sudah maklum bahwa Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Inilah maksud dari firman Allah:
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan. sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan." Ad Dukhan: 3)
Diriwayatkan dari Asy Sya'bi (wafat 109 H), seorang pembesar tabi'in, bahwa yang dimaksud turunnya Al Qur'an dalam tiga ayat di atas adalah turunnya pertama kali kepada Rasulullah Qur'an pertama kali turun pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, yaitu malam yang diberkahi. Kemudian setelah itu turunnya diikuti secara berangsur-angsur sesuai dengan tempat dan kejadian dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh tiga tahun. Al Qur'an tidak turun dengan sekaligus, namun turun kepada Rasululah secara berangsur-angsur."(Mana' Al Qaththan,Mabahits fi Ulumil Qur'an, hal 102)

Tanggal Berapa Al Qur'an Diturunkan
Terdapat perbedaan pendapat antar ulama tentang penentuan hari dan tanggalnya dari bulan Ramadhan. Ada yang berpendapat tanggal tujuh Ramadhan. Ada pula yang berpendapat tanggal tujuh belas, delapan belas, dua puluh satu dan lain sebagainya.
Pendapat yang paling kuat menurut Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri adalah tanggal dua puluh satu Ramadhan. Karena, mayoritas pakar sejarah sepakat babwa beliau diangkat sebagai Rasul yang ditandai dengan turunnya ayat pertama kali adalah pada hari senin. Hal ini diperkuat oleh riwayat dari Abu Qatadah, dia berkata , Rasulullah ditanya tentang puasa pada hari senin, maka beliau bersabda :
“Pada hari itulah aku dilahirkan dan pada hari itu pula turun (wahyu pertama) kepadaku.” (HR. Ahmad, Al Baihaqi dan Al Hakim)
Menurut perhitungan, hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu (13 tahun sebelum Hijriyah) jatuh pada tanggal tujuh, empat belas, dua pulub satu dan dua puluh delapan. Beberapa riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Lailatul Qadar tidak jatuh kecuali pada malam-ma|am sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda :
"Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan."(Muttafaqun'alaihi)

Tepatnya pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.Diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah bersabda :
"Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan." (Muttafaqun'alaihi).
Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas bahwa Al Qur'an pertama kali turun adalah pada bulan Ramadhan, malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang diberkahi hari senin tanggal 21 Ramadhan.
Namun sebagian kaum muslimin, khususnya di Indonesia, menyangka malam turunnya Al Qur'an (Nuzulul Qur'an) adalah tanggal 17 Ramadhan. Pada malam tersebut mereka melakukan perayaan untuk memperingati malam. Nuzulul Qur'an.Persangkaan seperti ini tidak mempunyai dasar sama sekali. Karena pertama kali Al Qur'an turun pada malam Lailatul Qadar. Sedang malam Lailatul Qadar tidak jatuh pada malam selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selain itu, perayaan malam nuzulul Qur'an tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan orang-orang setelah beliau dari kalangan para shahabat dan para tabi'in. Sehingga perayaan malam nuzulul Qur'an adalah bid'ah dalam perkara agama. Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah 'Aisyah radhiyallahu'anha, dia berkata: "Rasulullah pernah bersabda:
"Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan(agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak."(HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak."

Bukan Sekedar Ditadaruskan.
Firman Allah, "Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda."Ibnu Jarir Ath Thabari berkata, "Yaitu petunjuk bagi manusia kepada jalan yang benar dan qashdu (tujuan) yang terang." Adapun maksud dari firman Allah, “Dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu" yaitu penjelas yang menerangkan tentang larangan-larangan Allah, perintah-Nya, serta perkara halal dan haram."
Sebagaimana diriwayatkan dari Musa bin Harun, dari Amru bin Hamad dari Asbath dari As Sa'di, bahwa (yang dimaksud) "Dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda" adalah penjelas dari yang halal dan haram." (Jami'ul Bayal fi Ta'wilil Qur'an, 111/448) .
Abu Bakar Jabir Al jazaa'iri berkata, "(Yaitu) petunjuk bagi manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan mereka di dua negri (dunia dan akhirat) . Beliau melanjutkan, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda" maksudnya Al Qur'an turun Sebagai petunjuk bagi manusia, menjelaskan jalan yang lurus, keberuntungan dan keselamatan. Al Qur'an Sebagai pembeda bagi mereka antara yang haq dan yang batil dalam setiap perkara kehidupan." (Aisarut Tafaasir, 1/82)
Al Qur'an Sebagai petunjuk bagi manusia, mejelaskan kebenaran dan memberi garis batas antara al-haq dan al-bathil. Al Qur'an pertama kali diturunkan kepada Rasulullah pada malam Lailatul Qadar, bulan Ramadhan. Tepatnya, hari senin tanggal 21 Ramadhan, bukan tanggal 17 Ramadhan. Mengingat malam Lailatul Qadar hanya jatuh pada malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Sehingga tidak mungkin Al Qur'an turun pada tanggal 17 Ramadhan.
Dan Al Qur'an akan menjadi petunjuk jika dikaji lalu diamalkan dalam realitas kehidupan manusia. Al Qur'an diturunkan, bukan sekedar untuk dibaca, diperlombakan dalam berbagai musabaqah, diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan. Tidak !!. Akan tetapi Al Qur'an harus menjadi sumber hukum dan ideologi serta nafas kehidupan kaum muslimin. Dengan inilah Al Qur'an menjadi rahmat. Wallahu a'lam bish shawwab .

Kamis, 19 Agustus 2010

Sejoli Penghancur Islam

Kesembilan : mengikuti para ulama yang suu'. Lalu Allah SWT menerangkan kebathilan ini dalam firman-Nya, "hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.." (At-Taubah:43).

Dalam matan ini Syaikh menerangkan karakter orang-orang jahiliyah -baik ahlu kitab atau ummiyin- selalu meniru para pemimpin mereka, ulama, pendeta atau rabi dalam bermaksiat kepada Allah SWT. Mereka menjadikan tindakan kemaksiatan yang dilakukan oleh para pemimpin dan ulamanya sebagai dalih untuk membenarkan tindakan mereka yang salah. Mereka bertaklid buta kepada para ulamanya, membebek kepada pemimpin yang sesat.

Mungkinkah ulama dapat tega meyesatkan umatnya? sebuah pertanyaan kontradiktif. Dimana seharusnya ulama memberikan pengarahan dan mengajak umat manusia menggapai hidayah Allah SWT. sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa ulama terkadang menyesatkan umat dan menjadi calo dakwah.

Allah SWT berfirman'
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka mereka akan mendapat siksa yang pedih." (At-Taubah:34)

Ada dua sifat buruk ahbar (ulama Yahudi) dan ruhban (ahli ibadah Nasrani) dalam ayat ini :
1. Mereka mengambil harta manusia dengan cara bathil.
2. Mereka senantiasa meghalang-halangi manusia dari jalan Allah SWT.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "dalam ayat ini, Allah SWT mewanti-wanti umat Islam untuk tidak mengikuti ulama' suu' (buruk) dan para ahli ibadah yang sesat. Syufan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, "jika ada ulama kita yang rusak berarti ia menyerupai orang-orang Yahudi. Dan jika ada ahli ibadah kita rusak berarti dia menyerupai orang-orang Nasrani. 'walhasil, kita dituntut untuk tidak mengikuti mereka, baik dalam perbuatan ataupun perkataan karena mereka mencari dunia dengan menggadaikan agamanya." (Ibnu katsir, 1/134)

Banyak catatan sejarah membuktikan hal ini. Syamiri, misalnya, ia adalah seorang yang ditokohkan oleh masyarakat yang hidup pada zaman Nabi Musa as, ialah yang mengubah ajaran Nabi Musa as dengan membuat patung sapi sebagai sesembahan.

Ulama Suu' dan Pemimpin Dzolim, Sejoli Penghancur Islam

Ketika menafsirkan surat At-Taubah ayat 34 di atas, Ibnu Katsir menjelaskan, ada tiga jenis manusia yang senantiasa dicontohi dan selalu dijadikan pedoman oleh manusia, yaitu Ulama, Ahli ibadah dan orang kaya (raja).

Beliau berkata, "Firman Allah SWT, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah.." ..Sesungguhnya manusia sangat taat kepada ulama, ahli ibadah dan orang-orang kaya (para raja). Jika ketiga jenis manusia ini rusak." (Ibnu Katsir, 1/134)

Jadi, layaknya seorang ulama, seorang pemimpin selain berpotensi menciptakan kebaikan bagi masyarakat dan islam, juga merupakan sosok yang sangat berpotensi untuk merusak. Dua kelompok manusia ini menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi umat sekaligus sumber kerusakan yang parah bagi kehidupan rakyatnya.

Karena perilaku masyarakat sangat bergantung kepada dua jenis manusia ini. Ibnu Hajar berkata, "Agama dan akhlaq rakyat tergantung agama dan akhlak rajanya."
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, "Dan adakah yang merusak Dien(agama) selain raja...ulama suu' dan ahli ibadah yang sesat?"

Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan dari Ziyad bin Hudhair, beliau berkata, "Suatu lali Umar bin Khattab bertanya kepadaku, "Tahukah engkau, apa yang dapat menghancurkan Islam?" Aku menjawab, "tidak tahu". Umar bin Khattab menjelaskan "yang menghancurkan Islam adalah ketergelinciran seorang 'alim, dan seorang munafik yang berdebat dengan menggunakan al-kitab. Dan hukum (yang dibuat oleh) para penguasa yang sesat." (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi)

Kerusakan aklhak, aqidah dan hukum seorang pemimpin sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW. Karena implikasi (akibat) terhadap umat sangatlah besar. Umat sangat dipengaruhi oleh siapa yang memimpinnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Dan sungguh diantara yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah penguasa-penguasa sesat. Akan ada beberapa kabilah dari umatku yang menyembah berhala-berhala. Dan akan ada beberapa kabilah dari umatku yang akan mengikuti orang-orang musyrik." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi-shohih-)

Epilog

Kerusakan yang kita saksikan di berbagai belahan bumi ini, sungguh beragam sebabnya. Tetapi, mungkin sebab utama adalah rusalnya penguasa dan para ulama. Para penguasa yang serakah terhadap dunia, telah menjual rakyat, agama dan kekayaan buminya kepada orang-orang kafir.

Ulama yang gandrung terhadap dunia dan jabatan, telah menjilat penguasa. Tak heran jika tiba musim pilkada, kampanye dan sejenisnya, banyak ulama yang mencari pekerjaan "tambahan", yaitu nyambi menjadi jurkam. Di sana pula ada ulama yang berfungsi sebagai penghibur, berbicara sesuai pesan "sponsor". Ia telah kehilangan dua unsur pokok dakwah, memberikan kabar gembira (basyira) dan memberi peringatan atau ancaman (nadzira).
Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertangungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka." (al-baqarah:119)

Ya, para rasul diutus tidak hanya untuk memberi kabar gembira, tapi juga untuk memberi ancaman bagi mereka yang lalai. Tidak hanya dikirim untuk menceritakan keindahan surga, tapi juga menggambarkan kengerian neraka. Tidak sekedar berdakwah dengan tutur kata yang sopan, lemah-lembut, dan senyum ramah, tapi juga diutus dengan pedang. Bginilah seharusnya seorang ulama dan da'i.
Rasulullah bersabda, "Aku diutus dengan pedang, hingga Allah SWT dijadikan satu-satunta dzat yang diibadahi, tidak ada sekutu lagi bagi-Nya. Dan rezekiku terdapat di bawah bayang-bayang tombakku. serta kehinaan akan menimpa siapa saja yang menyelisihi perintahku." (HR. Ahmad-dishohihkan oleh Syaikh al-albani-)

Kita sering mendengar para ulama dan para da'i yang menjadi kaki tangan pemerintah sekuler yang dzolim nan kafir. Tanpa digaji pun mereka bahu-membahu dengan penguasa sesat dalam memerangi para pengusung syari'at Islam dan pembela tauhid. Atas nama "perang terhadap kelompok khawarij, teroris dan fundamentalis" mereka menghalalkan darah dan kehormatan kaum muslimin berdiri di shof tentara Allah demi tegaknya Syari'at Islam secara kafah.

Merekalah penjelmaan ulama-ulama suu'. Sadar atau tidak mereka telah menjual agama mereka untuk dunia dan demi langgengnya sistem kufur dunia ini. Dan hari ini ulama suu' dan penguasa sesat sedang berkolaborasi menghancurkan Islam. Dan "Mereka dilaknat oleh Allah dan orang-orang yang melaknat." Wallahul musta'an.

Ulama Suu' Vs Ulama Rabbani

Ulama Rabbani

Mereka adalah manusia-manusia menggadaikan jiwa dan raganya demi tegaknya Islam.
Takut kepada Allah SWT, tidak menjual agama untuk dunia, '“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah Ulama.”

Orang yang antara amal dan ilmunya bersesuaian.
Ali bin Abi Tholib berkata,
“Sesungguhnya yang disebut orang 'alim adalah orang yang beramal dengan ilmunya dan yang ilmunya sesuai dengan 'amalannya.”
Ibnu Mas'ud berkata, “Ilmu itu bukan karena banyaknya perkataan tetapi karena khosyatulloh (takut kepada Allah).”

Menjauhi penguasa dan sangat tidak menyukai jabatan pemerintah.
Abu Hanafi misalnya, beliau pernah ditunjuk oleh Khalifah Abbasiyah, al-Mansur menjadi Qodhi (hakim agung) tapi beliau menolaknya. Karena khawatir agamanya tergadaikan. Akibat penolakan ini beliau dipenjara dan disiksa. Beliau meninggal di penjara



Ulama Suu'
Menjual ayat-ayat Allah SWT untuk mencari dunia.
Suatu kali Imam Ibnu Mubarak ditanya, “siapakah manusia yang sebenarnya?” “ulama” jawab Ibnu Mubarak. “Dan siapakah raja?” “Az-Zuhhad” (orang zuhud),” jelas Ibnu Mubarak. “lalu, siapakah orang rendahan?” Beliau ditanya lagi. “Orang yang mancari malan dengan agamanya,” tegas beliau

Pintar memberi nasehat, Tidak pernah memberikan teladan.
Rasulullah SAW bersabda, “Akan didatangkan seseoarng pada hari kiamat, kemudian ia di lemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya-usus-ususnya, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu bertanya “kenapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?” Orang tersebut menjawab “Benar, saya dahhulu memerintahkan pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakannya.” (Bukhori dan Muslim)

Mendatangi dan Manjilat Penguasa.
Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu melihat Qori' (alim) mendatangi penguasa, maka dia adalah pencuri. Dan jika kamu melihatnya mendatangi orang-orang kaya, maka dia telah melakukan riya'. Jangan sampai kamu tertipu dengan alasan menolak kedzoliman dan menolong yang terdzolimi, lalu kamu datangi kedua jenis orang tersebut. Karena itu adalah tipu data syetan.”

Minggu, 01 Agustus 2010

SABAR ADALAH CAHAYA ........... bagian 4

3. Sabar Di Dalam Menghindari Kedurhakaan

Kemaksiatan adalah satu hal yang kebanyakan nafsu menyukainya , walaupun sebenarnya hati kecilnya menolak akan hal itu . Fitroh manusia pada mulanya adalah suci dalam arti dalam memandang suatu kemaksiatan ada sesuatu yang salah dan tidak benar dan menyimpang . Biasanya seseorang yang telah terjebak kedalam lembah kemaksiatan ( apapun bentuknya ) pada awalnya dia hanya sekedar ingin tau saja . Akan tetapi keinginannya itu akan terus berkembang menjadi ingin sedikit mencoba ( setelah dia melihat ) jika dia mempunyai kesempatan . Mungkin pada awalnya dia di tawari seseorang untuk mencobanya tanpa dia harus keluar uang barang sepeserpun , itupun pada awalnya dia masih malu malu , takut takut , ada sesuatu yang lain pada dirinya , karena bertentangan dengan fitrohnya yang menolak akan bentuk kemaksiatan , jiwanya pada waktu itu berkecamuk / perang batin .

Akan tetapi karena kurangnya ilmu dan lemahnya iman orang tersebut serta seringnya sang teman membisiki dan syetan senantiasa mengajak dia untuk melakukan kemaksiatan maka nafsu syahwatnyalah yang menang dan fitrohnya yang mengatakan untuk meninggalkan kemaksiatan sedikit demi sedikit terkikis dan pada akhirnya hilang perasaan itu . Yang pada awalnya dia menyisihkan sedikit dana tetapi sekarang jadi menganggarkan dana untuk hal itu , yang pada awalnya hanya kalau ada waktu luang tetapi sekarang harus meluangkan waktu , yang pada awalnya hanya sekedar iseng sekarang sudah menjadi kebiasaan dan hobinya .
Hal tersebut akan terus berlanjut hingga pada satu keadaan dia sudah terperosok kedalam jurang kemaksiatan yang paling dalam serta dia untuk keluar dari sana akan sangat kesulitan .
Ada 2 faktor yang dapat menjerumuskan seseorangkedalam kemaksiatan yaitu : ketersediaannya dana dan adanya kesempatan . jika 2 hal itu terkumpul jadi satu pada diri seseorang maka orang tersebut akan mudah berbuat kemaksiatan . Karena kemaksiatan itu ( apapun bentuknya ) memerlukan dana , akan tetapi lain halnya dengan ketaatan bisa dilakukan tanpa dana dan tenaga yang besar yaitu menjauhi kemaksiatan .

Allah Azza wajalla menciptakan anak keturunan Adam As yang di dalam jiwanya juga Allah memasukkan hawa nafsu dan kehendak , agar dia bisa mendatangkan manfaat bagi dirinya itu.
Di dalam diri manusia Allah juga menciptakan amarah , agar dia bisa menolak apa apa yang bisa mencelakakan dirinya . Manusia juga di berikan akal yang layaknya pendidik yangmenyuruhnya untuk berbuat adil tentang apa apa yang harus dia lakukan dan apaapa yang harus dia tinggalkan . Allah juga menciptakan syetan yang menyuruhnya untuk berlebih lebihan tentang sesuatu yang harus dia lakukan dan berlebih lebihhan tentang sesuatu yang harus dia tinggalkan
Karena hal hal tersebut ada manusia yang condong atau cenderung untuk berbuat kebaikan dan ada juga manusia yang condong untuk berbuat kemaksiatan .
Seseorang yang condong untuk berbuat kemaksiatan itu dikarenakan orang tersebut selalu memperturutkan hawa nafsunya , kehendaknya dan mengumbar amarahnya , orang tersebut tidak menggunakan akalnya tentang akibat buruk atas perbuatannya itu bagi dirinya sendiri .

Jadi akar permasalahan atau awal mula seseorang itu berbuat kemaksiatan di karenakan selalu memperturutkan hawa nafsunya , kehendaknya dan amarahnya tidak bisa dia redam serta di perparah dengan akalnya yang selalu membenarkan akan tindakannya yang menyimpang itu . Karena kepicikan akalnya itu dia melihat suatu kebenaran itu dengan pandangan yang terbalik , dia tidak tau standart suatu kebenaran itu ukurannya kaya' apa ?? , yang penting jika akalnya berkata benar dan manusia kebanyakan melakukan itulah kebenaran menurut pandangannya , akan tetapi jika akalnya itu menolak maka itu sesuatu yang harus dia tinggalkan jauh jauh . Dari sanalah seluruh kemaksiatan manusia bermula , sehingga akan mengakibatkan Allah akan menutup hatinya dari mendapat kebenaran atau menerima kebenaran . Jika seseorang telah terdinding dari menerima atau mendapatkan akan kebenaran maka alamat orang itu mengalami suatu kerugian yang besar baik di dunianya lebih lebih di akherat kelak akan lebih menyengsarakanya ( Allah tidak mendzalimi hambanya , akan tetapi orang tersebutlah yang telah mendzalimi dirinya sendiri atau dengan kata lain hal itu sebagai hukum sebab akibat ) .

Dari sebab sebab itu semua atau sebab timbulnya kemaksiatan itu di kalangan manusia Allah Azza wajalla memberikan solusi yang baik sekali agar manusia itu keluar dari jurang kemaksiatannya itu agar kembali kepada jalan Islam yang lurus antara lain :
1. Hendaknya akalnya dapat menundukan hawa nafsu dan kehendaknya yang meluap luap untuk berbuat maksiat dan memikirkan akibat buruk yang bakal menimpanya .
2. Hendaknya seseorang harus bisa menundukkan akalnya , nafsunya dan kehendaknya itu diatas syareat atau dengan kata lain dia paksa akalnya untuk mengikuti syareat karena akal manusia itu terbatas sekali .
Jadi konsekwensi bagi orang orang beriman adalah mendahulukan dalil dalil syar'i dan juga jangan sampai dalil dalil yang ada ( secara jelas ) dia paksakan untuk mengikuti akalnya yang dangkal ( apa apa yang datang dari Allah yaitu Al Qur'an dan apa apa yang datang dari Rosulullah yaitu As Sunah dia benarkan dan dia terima mutlak tanpa adanya penolakan sedikitpun )

3. Memikirkan sebab akibat dari kemaksiatan
Apabila seseorang malakukan satu kemaksiatan maka Allah akan menitik satu noda hitam di hatinya ( akan tetapi jika dia tidak melakukannya noda itu akan hilang atau dia beristighfar ) , semakin sering seseorang malakukan kemaksiatan maka noda noda hitam itu akan semakin banyak dan merata , sehingga hatinya akan seluruhnya tertutup noda hitam . Hal itu tidak hanya berlaku pada dosa kemaksiatan saja , akan tetapi juga belaku pada dosa ke bid'ahan dan dosa syirik .
Hukum hukum dan hukuman hukuman yang telah Allah tetapkan kepada pelaku dosa kemaksiatan dengan pelaku kebid'ahan dan kesyirikan berbeda beda . Artinya dosa pelaku kemaksiatan tidak sampai menghapus seluruh amalnya baiknya yang lalu ,dengan satu catatan orang tersebut mengakui kalau dia itu berbuat salah dan dosa , akan tetapi jika orang tersebut malah menyatakan kalau kemaksiatan yang telah dilakukannya itu ( minum minuman keras misal ) sesuatu yang halal ( padahal jelas jelas haram ) maka hukum yang di tetapkannya pun akan menjadi lain dari hukum semula .
Akan tetapi seorang pelaku kebid'ahan ( yang menjurus pada kesyirikan ) dan pelaku kesyirikan maka hal itu dapat mengahapuskan seluruh amal sholehnya dahulu sedangkan dosa kebid'ahan dan kesyirikan masih menempel pada dirinya dan dosa dosanya yang lain .

Apabila orang beriman yang tauhidnya murni tanpa tekotoro oleh dosa kesyirikan sedikitpun , sedangkan dia membawa dosa kemaksiatannya sebesar bumi , niscaya Allah akan memberikan ampunannya sebesar itu pula . Dan Alah Azza Wajalla tidak akan memberikan ampunannya itu kepada orang yang tauhidnya rusak ( terkotori oleh kemusyrikan ) kecuali orang tersebut melakukan taubatan nashukha dengan syarat dia masih dalam keadaan sehat dan nyawa belum sampai dikerongkongan ( akan tetapi jika nyawa sudah sampai di kerongkongan taubatnya itu tidak akan di terima ) .
Demikianlah aqidah ahlus sunah wal jama'ah memandang hal itu .

4. Hendaknya menumbuhkan rasa malu di hadapan Allah Ta'ala
Harusnya orang beriman itu merasa malu di hadapan Allah atas nikmat yang telah Allah berikan secara cuma cuma , akan tetapi di balasnya dengan kemaksiatan dan kedurhakaan .
* Pernahkah kita berkunjung ke rumah sakit di ruang penderita strok , berapa biaya yang harus dia keluarkan agar penyakitnya itu sembuh atau minimal sedikit berkurang .
* Sekali waktu kita berkunjung ke tempat penderita tuna netra , orang yang bisu dan orang yang tuli , bagaimana kehidupan mereka dan bandingkan dengan kita yang di karuniai kesempurnaan panca indra .
* Orang orang yang hidup di perkotaan yang sangat membutuhkan akan air bersih , berapa biaya yang harus dia keluarkan tiap hari sampai pertaunnya .
* Seandainya udara bersih yang kita hirup setiap saat ini di suruh membayar oleh Allah , niscaya manusia manapun tidak akan pernah mampu untuk membayarnya .
Maka benarlah apa yang telah Allah Firmankan dalam QS : Ar Rahman pada ayat yang diulang ulang : " Dan Nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan "

Allah Azza Wajalla hanya memerintahkan untuk taat atas perintah dan laranganNya . Ketaatan atas perintah dan larangan Allah itu akan kembali pada dirinya sendiri . Allah tidak mempunyai kepentingan sedikitpun di dalamnya ( jika manusia itu taat maka hal itu tidak akan menambah kekuasaan Allah , dan jika manusia itu membangkang hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan Allah sedikitpun ) . Oleh karena itu semua , maka diturunkannya Al Kitab serta di utusnya para Rosul ke muka bumi ( itulah bentuk keadilan Allah atas manusia . Allah tidak mendzalimi hambanya sedikitpun akan tetapi orang itu sendiri yang mendzalimi dirinya ) .

Demikianlah bentuk bentuk kesabaran yaitu sabar atas musibah , sabar dalam ketaatan dan sabar dalam menjauhi maksiat . Akan tetapi sabar juga mempunyai bentuk yang lain yaitu : sabar yang bersifat ikhtiyari ( karena pilihan sendiri ) dan sabar yang bersifat idhthirari ( karena terpaksa / harus bersabar )
Sabar yang bersifat ikhtiyari akan lebih besar pahalanya di sisi Allah di banding dengan sabar yang bersifat idhthirari .

jika ada seseorang yang di penjara dalam keadaan terpaksa bukan karena suka , lalu orang tersebut bersabar di penjara karena Allah ,maka orang tersebut memperoleh pahala atas kesabarannya itu ( dia di penjara bukan karena terlibat kasus kriminalitas , akan tetapi di sebabkan karena keislamannya yang baik dan tak kenal kompromi ) akan tetapi pahala yang dia terima itu masih jauh dibawah pahala seorang mujahid yang berjihad di medan perang , yang ia dapat kembali ketempat asalnya kapan saja dia mau , akan tetapi dia tetap memilih untuk meneguk kepahitan ; melewati saat saat yangmenjemukan , membosankan dan mengguncangkan hati , menghadapi keterasingan dan jauh dari keluarga , tetangga dan handai taulan .
Orang orang yang berada di front front peperangan dan bersabar di dalamnya , pahalanya akan berlipat ganda banyaknya dari pada para da'i yang bersabar di dalam penjara penjara thoghut .
Orang yang bersabar di dalam penjara adalah sabar yang bersifat idhthirari sedangkan orang yang berjihad atas kemauannya sendiri adalah jenis sabar yang bersifat ikhtiyari . Sebab mereka di penjara bukan atas kemauan mereka sendiri akan tetapi karena terpaksa , adapun orang yang berjihad mereka datang atas kemauan mereka sendiri , ia berhjrah juga karena kemauan mereka sendiri , beribath di perbatasan juga atas kemauan mereka sendiri dan pergi ke front front jihad ( satu tempat yang sedang meletus perang yang hal tersebut tidak terjadi setiap saat ) dan mereka tinggal di bumi jihad bertaun tahun juga atas kemauan mereka sendiri ( jika mereka tidak datang kebumi jihad niscaya dia tidak akan ditimpa kesusahan ) .
Orang yang di penjara senantiasa mengangankan kalau saja ia di lepaskan dari kurungan dan di bebaskan dari penjara . Sementara mereka yang berjihad , maka mereka telah mengikatkan dirinya karena kemauan sendiri , ia telah mengikat dirinya untuk beribadah kepada Allah dalam amal jihad atas kemauan mereka sendiri .

Sabar juga mempunyai bentuk yang lain disamping , sabar dalam ketaatan , sabar dalam menerima musibah , sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar yang bersifat idhthirari dan bersifat ikhtiyari , jika sifat sabar di gabungkan dengan sifat lain

1. Jika sifat sabar di gabungkan dengan sifat yakin
Maka akan di peroleh kepemimpinan dalam agama . Sebagaimana di jelaskan dalam QS : As sajdah 24 yang artinya :
" Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami .Ketikamereka sabar , dan mereka meyakini ayat ayat Kami " .
Kepemimpinan dalam agama artinya : mengajak manusia untuk kembali kepada Rabb mereka , dengan mengembalikan mereka dari beribadah sesama manusia menuju hanya beribadah kepada Allah saja .

2. Jika sabar di gabungkan dengan sifat taqwa
Maka disana terdapat kunci kunci kemenangan yang akan diraih , baik itu kemenangan di medan jihad maupun kemenangan dalam hujjah ( dalil dalil yang dikemukakannya tidak terbantahkan )
Dalam QS : Ali Imran 200 menjelaskan :
" Hai orang orang yang beriman , bersabarlah kamu , kuatkanlah kesabaranmu , tetaplah bersiap siaga ( diperbatasan negrimu ) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung ".
Pada ayat tersebut menyebutkan agar kamu beruntung artinya : beruntung dalam menghadapi gejolak hawa nafsu yang ada di dalam dirinya agar nafsu dan akalnya ditundukkan untuk mengikuti syare'at , juga beruntung atau menang atas orang orang yang memusuhi islam .

Dakwah Islamiah ini menawarkan aturan hidup yang realistis yang mengatur hati mereka dan harta benda mereka , yang mengatur kehidupan dan penghidupan mereka yang baik , adil dan lurus . Akan tetapi kejahatan ini tidak akan pernah senang kepada aturan yang baik dan lurus ini . Kebatilan tidak akan pernah suka kepada kebaikan , keadilan dan kelurusan . Oleh karena itu dakwah ini senantiasa menghadapi tantangan dari musuh musuh yang berupa orang orang yang suka kepada keburukan , kejahatan , kebatilan dan kedzaliman .
Dakwah ini sangat rentang untuk diperangi oleh orang orang yang mencari keuntungan dunia ( orang munafik ) dan mengeruk kekayaan yangmereka tidak ingin maksut mereka di halangi .
Dakwah ini sangat rentan diperangi oleh orang orang yang dzalim dan sombong , yang tidak ingin kedzaliman dan kesombongannya itu di hambat . Dan dakwah ini sangat rentan diperangi oleh orang orang yang memperturutkan hawa nafsunya yang ingin bebas dari segala peraturan .
Untuk itulah perlunya Jihad fisabilillah dalam menghadapi mereka semua ( baik dengan hujjah maupun dengan mengangkat senjata , itupun jika mereka melakukan perlawanan senjata ) sabar dan menguatkan kesabaran dan bersiap siaga agar umat ini tidak di mangsa oleh musuh musuh Islam yang senantiasa ada dimuka bumi hingga hari kiamat .

Taqwa menyertai semua ini . Ia merupakan penjaga yang senantiasa siap bangkit dalam hati yang menjaganya agar tidak lengah , tidak lemah , tidak menyeleweng dantidakmenyimpang dari jalannya . Dan tidak ada yang mengetahui kebutuhan terhadap penjaga yang senantiasa sadar kecuali orang yang telah merasakan penderitaan dan kesulitan di jalan dakwah dan berusaha dengan maksimal untuk menyelesaikan gejolak pertentangan yang banyak dan bertumpuk tumpuk dalam berbagai keadaan dan kesempatan .

Sabar dan taqwa juga mempunyai keuntungan yang lain . Sebagaimana di jelaskandalam QS : Ali Imran 120 yang artinya :
" Jika kamu bersabar dan bertaqwa , niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yangmereka kerjakan ".
Pada ayat tersebut Allah memerintahkan untuk sabar , tegar , tidak runtuh , tidak minder dan tidak melepaskan aqidahnya baik sebagian maupun seluruhnya ( demi menjaga diri dari keburukan mereka atau usaha menarik simpati mereka ) .
Kemudian taqwa menurut ayat diatas QS : 3 / 120 yaitu : untuk takut pada Allah saja , bahwa mereka dan dirinya itu selalu dalam pengawasan Allah . Taqwa inilah yang menghubungkan seseorang dengan Sang Khaliq .

Jika taqwa ini telah melekat di hati seseorang maka akan membawa orang tersebut untuk mengikuti syare'at Islam secara murni dan universal serta dia telah berpegang pada tali Allah yang sangat kuat ( yaitu kalimat tauhid La Ilaha Illallah ) . Dengan begitu ia akan memandang enteng segala kekuatan selain Allah . Hubungannya dengan Allah ini akan menguatkan tekadnya , sehingga ia tidak mudah menyerah pada orang lain dan dia tidak akan berkasih sayang dengan orang orang yang menentang Allah dan RosulNya , demi mencari keselamatan atau kenikmatan dunia . Inilah jalan itu ( shirathol mustaqim ) yaitu sabar , taqwa , dan berpegang teguh pada kalimat tauhid .

Fakta sejarah menyebutkan selagi kaum muslimin ini berpegang teguh dengan tali Allah dan melaksanakan sye'at Islam di semua aspek kehidupannya , maka mereka menjadi perkasa dan selalu menang .
Akan tetapi jika dalam berpegang teguh pada tali Allah ini semakin mengendur dan sedikit demi sedikit syareat islam ini di tinggalkan di semua lini kehidupannya , maka kaum muslimin akan semakin lemah dan mengalami kekalahan demi kekalahan , kehinaan serta tertimpa berbagai macam bencana yang datang silih berganti ( sampai umat ini sadar dan kembali kepangkuan islam ) . Fakta sejarah juga menjadi saksi bahwa kalimat Allah itu akan selalu abadi dan sunatullah akan terus berlaku . Barangsiapa yang buta terhadap sunatullah di muka bumi ini , matanya tidak akanmelihat kecuali tanda tanda kehinaan , kekalahan , dan kejatuhan di berbagai lini kehidupan manusia .

3 . Jika sifat sabar di gabung dengan sifat tawakal

Maka mendapatkan keistiqamahan , Setiap langkah kita jadi mantab dan tidak ada keraguan dalam melangkah . Seseorang yang telah membulatkan tawakalnya dan bersabar maka hatinya tidak akan tertarik pada apa apa yang di janjikan oleh thoghut thoghut dan tidak terpengaruh oleh provokasi dan intimidasi . Dia akan berhati hati dalam setiap langkahnya dan pasti Allah akan menolongnya . Jika sudah demikian maka kedzalimat akan pergi dari hadapan orang yang aqidahnya tertancap kuat di dalam hati dengan memalingkan wajahnya , dia tidak mau berdebat berdiskusi dan berfikir lagi ( karena argument argument yang dia keluarkan dapat di patahkan malah mengenai dirinya sendiri ) . Hal itu menandakan bahwa keyakiannya itu tidak bisa di tawar tawar lagi dan dia telah yakin bahwa memang sudah sunatullah yang harus dia lalui bagi para penghasung Al Haq di muka bumi ini .

Demikianlah penjabaran tentang sabar , dan kami cukupkan sampai disini .
Wallahu A'lam bishowab