>

Total Tayangan Halaman

Selasa, 23 November 2010

TERORISME ............2

Akuntabilitas Jihad

" Teroris atau Perampok ? " Demikianlah sebuah koran nasional menulis judul , hal itu menggambarkan akan kebingungan masyarakat Serdang tentang siapa orang yang sedang di buru oleh polisi dan TNI di daerah mereka . Sebuah pertanyaan yang lumrah mengemuka di tengah tengah simpang siurnya polisi dalam mengedentifikasi sekelompok bersenjata yang mereka kejar itu . Sedangkan dari Jakarta , Kapolri ( yg saat itu ) Bambang Hendarso Danuri nyata nyata mengklaim bahwa para pelaku perampokan di CIMB Medan adalah kelompok Abu Tholut . Meski demikian , akan tetapi di lapangan , Kapolda Sumut Irjen Pol Oegroseno belum berani memastikan bahwa mereka adalah teroris . " Saya tidak pernah menyatakan ya atau tidak " . Saya sedang menangani kasus satu , perampokan CIMB , kemudian penyerangan polsekta Hamparan Perak . Kemudian berkembang dengan 6 orang yang tertembak dan 3orang tidak . Nah kemudian dihubungkan dengan masalah terorisme . Jadi bingung jadinya , kemana ini larinya ." Lebih lanjut Oegroseno mengatakan , ia tidak beda berbeda pendapat dengan Kapolri ." Saya tidak berbeda pendapat . Tetapi jangan diarah arahkan ke pengejaran teroris . Sebenarnya apaartian teroris , mana contonya ? " tanya oegroseno ketika di wawancarai koran lokal .


Pada catatan ini kami tidak larut dalam tebak tebakan . Biarlah waktu yang akan menyibak siapa sesungguhnya kelompok bersenjata itu . Disini kita juga tidak akan menyoalkan akan keabsahan tindakan perampokan tersebut , bila hal itu nyata nyata terbukti di lakukan atas nama jihad . Karena hal itu lorong diskusinya akan panjang dan melelahkan , serta tidak akan tuntas melalui media catatan kami yang sederhana ini . Namun kebingungan publik dalam mengidentifikasikan mana teroris ( mujahid ) dan mana perampok seperti yang saya sebutkan dimuka , hal itu mengulangi - untuk kesekian kalinya- kegagalan kelompok jihad dalam mengkomunikasikan segala perbuatannya kepada publik . Karena hal itu betap[a terlalu sering dan gampangnya polisi , terutama dalam kasus terorisme , membuat rilis yang kemudian diamini oleh berbagai media . Ironisnya hal itu , tidak ada media pembanding yang menjadikan apa kata polisi menjadi kebenaran mutlak dan harus di telan mentah mentah . Meskipun ," Penelanan " ini bukanlah sebuah pembenaran . Tanpa di doktrin teori konspirasi , masyarakat kini makin cerdas dan kritis untuk mendeteksi sebuah permainan. Terlebih lagi iklim politik yang terjadi di negri ini , hari ini kental sekali dengan nuansa tipu daya dan permainan belaka .

Meskipun demikian , dalam kasus terorisme , publik belum bisa sepenuhnya memahami ( walaupun sekedar memahami , bukan menerima atau membenarkan ) tentang sebuah aksi dari sekelompok aktivis jihad . Bahwa opini mereka barulah berlabuh pada sekedar keyakinan bahwa semua itu adalah konspirasi dan permainan belaka . Para aktivis jihad sendiri , dimata mereka ( publik ) adalah bagian dari permainan itu sendiri . Publik belum memahami bahwa mereka ( teroris ) bukanlah mewakili sekelompok orang dengan prinsip dan ideologi khusus ( jihad ) . Sebagian lagi terjebak kedalam kebingungan untuk menggambarkan siapa sebenarnya dan apa yang dimaui oleh orang yang menamakan dirinya sebagai aktivis jihad . Fenomena seperti ini terjadi karena hajat untuk melakukan sebuah aksi jihad lebih cepat dan mendesak ketimbang menyiapkan segala perangkat kehumasan , hal itu untuk menjembatani komunikasi antara gerakan jihad itu sendiri dengan masyarakat pada umumnya . Di sana bukanlah sekedar memaparkan seabrek dalil tentang pentingnya syareat jihad , akan tetapi juga alasan alasan rasional ( di luar dalil ) tentang mengapa jihad harus dilaksanakan . Peran kehumasan seperti ini yang hari ini sangatlah pelik di tengah tengah realita keawaman masyarakat tentang hukum hukum islam itu sendiri . Di perparah lagi dengan terlalu seringnya peran media ( munafik ) yang secara aktif menohok jihad dan para pengusungnya .
Oleh karena itu perlu adanya satu sifat berani dan sabar pada diri pegerak amal islami hari ini sehingga sifat ketergesa gesaan yang muncul dari dirinya dapat di tekan .

Memang , tidaklah bijak jika harus mensyaratkan kemapanan humas sebagai syarat atas penegkan jihad itu sendiri . Namun ada satu pelajaran penting yang dapat kita ambil dan satu benang merah dari peristiwa yang sudah sudah menegaskan perlu adanya merawat opini publik bila sebuah gerakan jihad memandang keikut sertaan masyarakat sebagai nilai strategis dalam perjuangan mereka .

Kita lihat fakta untuk seukuran Indonesia , bahwa komunikasi dari gerakan jihad masih memprihatinkan . Hal itu entah jujur apa tidak , seorang wartawan media terkenal pernah mengeluhkan budaya " diam dan tiarap " nya para aktivis jihad . Sehingga hasilnya , info info seputar jihad mereka dapatkan dari para badut badut jihad , yang tiba tiba muncul dengan sebuah predikat ( mantan aktivis , mantan anggota , pengamat , peneliti dan sebagainya ) yang hanya memproduksi sampah informasi ( bukan dari kaca mata syareat yang benar ) .

Sementara , di sebrang sana , para aktivis jihad dengan tekun memaparkan seribu dalil dimedia yang mereka miliki . Akan tetapi sayangnya penjelasan seperti itu tidaklah dibungkus dengan retorika atau bahasa yang mudah di fahami dan di jangkau oleh masyarakat awam , namun teori tersebut hanya akrab di kalangan sesama aktivis saja atau di kalangan cendekiawan . Malangnya , teori " bungkam " ini juga tetap di jalankan meskipun cercaan dan fitnah diarahkan pada tokoh dan organisasi mereka ( dengan kemajuan informasi dan teknologi yang memudahkan siapa saja dapat membuat berita dan menyebarluaskan ) . Akibatnya tak sedikit msyarakat yang semula netral kemudian menjadi ikut ikutan berprasangka negatif kepada mereka ( aktivis Islam ) .

Peran humas dalam gerakan jihad adalah persoalan taktik , bukan syareat . Karenanya , dalam fikih jihad manapun tidak ada yang mensyaratkan hal itu . Ia ( humas ) adalah sebuah metode yang bersifat nawazil ( kontemporer ) , hal itu berdasarkan eksperimen dan kesimpulan para pelaku terkait dengan perkembangan yang terjadi di lapangan . Meskipun demikian ia tidak boleh dipandang remeh . Bukankah ( kaidah ushul fikih ) sesuatu yang menjadi wasilah untuk melaksanakan suatu yang wajib hukumnya juga menjadi wajib juga ?? Di sinilah Al Qaidah lebih maju mendahului gerakan gerakan jihad lainnya di dunia .

Dalam The Second Generation karya Fuad Husein ( di terjemahkan dlm bahasa indonesia menjadi generasi kedua Al Qaidah oleh Aljazera ) , di sana di jelaskan suatu kesimpulan dari para petinggi Al Qaidah atas eksperimen jihad lokal yang selama ini mereka lakukan . Terdapat kesulitan untuk menggalang dukungan opini publik ketika gerakan jihad harus vis a vis dengan penguasa lokal yang dikenal dengan seorang muslim ? . " Kenapa harus memerangi pemerintahan islam " adalah sebuah pertanyaan mendasar dimata publik yang perlu penjelasan panjang dan melewati diskusi panjang yang membutuhkan data yang akurat . Karena itulah , tulis Fuad Husein , Al Qaidah mengambil strategi " menggetok kepala ular " , dengan menyerang Amerika langsung .

Dengan meyerang Amerika yang jelas jelas kafir danbanyak merugikan umat islam , maka hitam putihnya persoalan jadi jelas sekali ; pasukan islam dengan pasukan kafir . Maka pada tahap[an berikutnya , ketika penguasa lokal yang berpihak kepada kepentingan Amerika secara terang terangan , publik akan mudah menyimpulkan peta perseteruan yang sesungguhnya .

Pilihan yang diambil Al Qaidah hanyalah menyusun skala prioritas , membariskan musuh dengan jelas untuk di tentukan mana yang perlu di pukul sekarang dan siapa yang berikutnya . Bukanlah mengubah aqidah al wala' wal baro' , yang menjadikan lawan sebagai kawan . Di sisi lain hal itu menjadi pertanggungan jawab publik tentang " apa , mengapa , dan bagaimana " mereka bertindak . YA, akuntabilitas jihad , agar mudah di fahami mengapa jihad meski di lakukan hari ini .

Sehingga masyarakat yang mendukung akan mengawal jihad tersebut ; memberikan sokongan sekaligus pengawasan bila arah jihad ternyata dinilai menyimpang dari ketentuan syar'inya , atau ada adab adab yang di kesampingkan . Sementara musuhpun menjadi semakin jelas mendudukkan persoalan ; bahwa mereka ( para teroris itu ?? ) harus di perangi karena akidah islam yang mereka miliki .Bukanlah cacat akhaq atau kepribadian mereka . Bukankah Rosulullah Muhammad SAW di perangi karena aqidahnya , bukanlah karena akhlaqnya ??
Hasbunallah wanikmal wakil .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar